Kamis, 15 Maret 2012

STEVEN-JOHNSON


SINDROM STEVEN-JOHNSON

PENDAHULUAN
          Sindrom steven-Johnson adalah bentuk eritema multiforme yang kadang-kadang berakibat fatal dengan prodormal seperti penyakit flu dan ditandai dengan lesi mukokutan yang berat.  Sindrom ini dapt juga melibatkan paru-paru, gastrointestinal, jantung dan ginjal (Dorland, 1998). Sindrom Steven-Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura (Hamzah, 2001).  Salah satu penyebab sindrom Steven-Johnson adalah alergi obat, dimana sekarang ini banyak obat dapat diperoleh dengan bebas.  Setiap tahun kira-kira terdapat 10 kasus.  Bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, tetapi dengan terapi yang tepat dan cepat nyawa penderita dapat diselamatkan.
          Ada beberapa sinonim yang biasa dipakai untuk penyakit ini, yaitu ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutanea-okular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema bulosa maligna.

ETIOLOGI
          Etiologi yang pasti belum diketahui.  Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritoma multiforme yang berat dan disebut eritoma multiforme mayor.  Salah satu penyebabnya ialah alergi obat biasanya secara sistemik.  Beberapa dugaan penyebabnya adalah penisilin dan semisintetiknya, streptomisin, sulfonamida, tetrasiklin, antipiretik/analgesik (misalnya : derivat salisilat /pirazolon, metamizol, metampiron dan parasetamol), klorpromasin, kinin antipirin, tegretol, dan jamu.  Selain itu juga disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit), neoplasma, pascavaksinasi, radiasi dan makanan.

PATOGENESIS
          Patogenesisnya belum jelas, diduga disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV.  Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.  Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ).  Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersentilisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.

GEJALA KLINIS
          Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah.  Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat.  Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma.  Misalnya penyakit akut dapat disertai gejala prodomal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
          Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
a.    kelainan kulit
b.    kelainan selaput lendir di orifisium
c.    kelainan mata

a.    Kelainan kulit
          Terdiri atas eritema, vesikel, dan bula.  Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas.  Di samping itu dapat juga terjadi purpura.  Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
b.   Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.  Juga dapat terbentuk pseudomembran.  Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esophagus.  Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar/tidak dapat menelan.  Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas.
c.    Kelainan mata
          Kelainan mata, merupakan 80% di antara semua kasus; yang tersering ialah konjungtivitis kataratis.  Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridoksiklitis.
          Di samping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya : nefritis dan onikolisis.

KOMPLIKASI
          Komplikasi yang tersering adalah bronkopneumonia, yang didapati sejumlah 16% di antara seluruh kasus.  Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit, dan syok.  Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
          Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas.  Jika terdapat leukositosis, penyebabnya kemungkinan karena infeksi.  Kalau terdapat eosinofilia kemungkinan karena alergi.  Jika disangka penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.

HISTOPATOLOGI
          Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh.  Kelainan berupa :
a.    Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial.
b.    Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
c.    Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
d.    Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
e.    Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

IMUNOLOGI
          Beberapa kasus menunjukkan deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superfisial dan pada pembuluh darah yang mengalami kerusakan.  Pada sebagian besar kasus terdapat kompleks imun yang mengandung IgG, IgM, IgA, secara tersendiri atau dalam kombinasi.

DIAGNOSIS BANDING
          Sebagai diagnosis banding ialah Nekrolisis Epidermal Toksik (N.E.T.).  Penyakit ini sangat mirip dengan sindrom Steven-Johnson.  Pada N.E.T. terdapat epidermolisis yang menyeluruh yang tidak terdapat pada sindrom Steven-Johnson.  Perbedaan lain biasanya keadaan umum pada N.E.T. lebih buruk.

PENGOBATAN
          Jika keadaan umum penderita sindrom Steven-Johnson baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison 30-40mg sehari.
          Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.  Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life saving.  Biasanya digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.  Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari.  Agar lebih jelas, maka berikut ini diberikan contoh.  Seorang penderita Steven-Johnson yang berat, harus segera dirawat-inap dan diberikan deksametason 6 x 5 mg intravena.  Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi, keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi.  Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari; sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan.  Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.
          Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria kristalina yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan.
          Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas penderita akan berkurang, karena itu harus diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian.  Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik.  Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya siprofloksasin 2x400 mg i.v., dan klindamisin 2x600 mg i.v. sehari.  Biasanya kami gunakan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.  Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein.  Kecuali itu juga diberikan obat anabolik dan KCl 3x500 mg sehari, jika terjadi penurunan K.
          Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena penderita sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun.  Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
          Jika dengan terapi di atas belum nampak perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut; terlebih-lebih pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari, i.v. dan hemostatik.
          Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik.  Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase.  Untuk lesi di kulit yang erosive dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak.

PROGNOSIS
          Kalau kita bertindak tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan.  Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk.  Pada keadaan umum yang buruk dan trdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan kematian.  Dalam kepustakaan angka kematian kira-kira hanya 1%.


DAFTAR PUSTAKA
Dorland, 1998, Kamus Saku Kedokteran Dorland (Alih bahasa : dr.Poppy Kumala, dkk.), Edisi 28, EGC, Jakarta, 1057.
Hamzah, M., 2001, Penyakit Kulit dan Kelamin (Ketua Editor : Prof.Dr. Adhi Djuanda, Anggota Editor : dr.Mochtar Hamzah dan Dr. Siti Aisah), Edisi 3, Cetakan 3, FKUI, Jakarta, 147-149.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar