SINDROM STEVEN-JOHNSON
PENDAHULUAN
Sindrom steven-Johnson adalah bentuk
eritema multiforme yang kadang-kadang berakibat fatal dengan prodormal seperti
penyakit flu dan ditandai dengan lesi mukokutan yang berat. Sindrom ini dapt juga melibatkan paru-paru,
gastrointestinal, jantung dan ginjal (Dorland, 1998). Sindrom Steven-Johnson
merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit
berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura (Hamzah, 2001). Salah satu penyebab sindrom Steven-Johnson
adalah alergi obat, dimana sekarang ini banyak obat dapat diperoleh dengan
bebas. Setiap tahun kira-kira terdapat
10 kasus. Bentuk yang berat dapat
menyebabkan kematian, tetapi dengan terapi yang tepat dan cepat nyawa penderita
dapat diselamatkan.
Ada beberapa sinonim yang biasa
dipakai untuk penyakit ini, yaitu ektodermosis erosiva pluriorifisialis,
sindrom mukokutanea-okular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema bulosa
maligna.
ETIOLOGI
Etiologi yang pasti belum
diketahui. Ada yang beranggapan bahwa
sindrom ini merupakan eritoma multiforme yang berat dan disebut eritoma
multiforme mayor. Salah satu
penyebabnya ialah alergi obat biasanya secara sistemik. Beberapa dugaan penyebabnya adalah penisilin
dan semisintetiknya, streptomisin, sulfonamida, tetrasiklin,
antipiretik/analgesik (misalnya : derivat salisilat /pirazolon, metamizol,
metampiron dan parasetamol), klorpromasin, kinin antipirin, tegretol, dan
jamu. Selain itu juga disebabkan oleh
infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit), neoplasma, pascavaksinasi, radiasi
dan makanan.
PATOGENESIS
Patogenesisnya belum jelas, diduga
disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi
yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan
pada organ sasaran (target organ).
Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersentilisasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang.
GEJALA
KLINIS
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia
3 tahun ke bawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat.
Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai
koma. Misalnya penyakit akut dapat
disertai gejala prodomal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk,
pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias
kelainan berupa :
a. kelainan
kulit
b. kelainan
selaput lendir di orifisium
c. kelainan
mata
a.
Kelainan kulit
Terdiri atas eritema, vesikel, dan
bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping
itu dapat juga terjadi purpura. Pada
bentuk yang berat kelainannya generalisata.
b.
Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan
selaput lendir yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul
oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus
jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya
berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi
dan krusta kehitaman. Juga dapat
terbentuk pseudomembran. Di bibir
kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan
di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan
esophagus. Stomatitis ini dapat
menyebabkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernapas.
c.
Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% di antara
semua kasus; yang tersering ialah konjungtivitis kataratis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis
purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridoksiklitis.
Di samping trias kelainan tersebut
dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya : nefritis dan onikolisis.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang tersering adalah bronkopneumonia,
yang didapati sejumlah 16% di antara seluruh kasus. Komplikasi yang lain ialah kehilangan
cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit, dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena
gangguan lakrimasi.
PEMERIKSAAN
LABORATORIUM
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak
khas. Jika terdapat leukositosis,
penyebabnya kemungkinan karena infeksi.
Kalau terdapat eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena infeksi
dapat dilakukan kultur darah.
HISTOPATOLOGI
Gambaran histopatologiknya sesuai
dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai
nekrolisis epidermal yang menyeluruh.
Kelainan berupa :
a. Infiltrat
sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial.
b. Edema
dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
c. Degenerasi
hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
d. Nekrosis
sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
e. Spongiosis
dan edema intrasel di epidermis.
IMUNOLOGI
Beberapa kasus menunjukkan deposit IgM
dan C3 di pembuluh darah dermal superfisial dan pada pembuluh darah yang
mengalami kerusakan. Pada sebagian besar
kasus terdapat kompleks imun yang mengandung IgG, IgM, IgA, secara tersendiri
atau dalam kombinasi.
DIAGNOSIS
BANDING
Sebagai diagnosis banding ialah Nekrolisis
Epidermal Toksik (N.E.T.). Penyakit
ini sangat mirip dengan sindrom Steven-Johnson.
Pada N.E.T. terdapat epidermolisis yang menyeluruh yang tidak terdapat
pada sindrom Steven-Johnson. Perbedaan
lain biasanya keadaan umum pada N.E.T. lebih buruk.
PENGOBATAN
Jika keadaan umum penderita sindrom
Steven-Johnson baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison
30-40mg sehari.
Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Penggunaan obat kortikosteroid
merupakan tindakan life saving.
Biasanya digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan
4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa
krisis dapat diatasi dalam beberapa hari.
Agar lebih jelas, maka berikut ini diberikan contoh. Seorang penderita Steven-Johnson yang berat,
harus segera dirawat-inap dan diberikan deksametason 6 x 5 mg intravena. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari),
masa krisis telah teratasi, keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru,
sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi.
Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg,
setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid,
misalnya prednison, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari;
sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut
dihentikan. Jadi lama pengobatan
kira-kira 10 hari.
Pada waktu penurunan dosis
kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria kristalina yang sering disangka
sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya
tetap diturunkan.
Dengan dosis kortikosteroid setinggi
itu, maka imunitas penderita akan berkurang, karena itu harus diberikan
antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi, misalnya bronkopneumonia yang
dapat menyebabkan kematian. Antibiotik
yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas,
bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya
siprofloksasin 2x400 mg i.v., dan klindamisin 2x600 mg i.v. sehari. Biasanya kami gunakan gentamisin dengan dosis
2 x 80 mg. Untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein. Kecuali itu juga diberikan obat anabolik dan
KCl 3x500 mg sehari, jika terjadi penurunan K.
Hal yang perlu diperhatikan ialah
mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena
penderita sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di
tenggorokan dan kesadaran dapat menurun.
Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan
Darrow.
Jika dengan terapi di atas belum
nampak perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak
300 cc selama 2 hari berturut-turut; terlebih-lebih pada kasus dengan purpura
yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari, i.v. dan
hemostatik.
Terapi topikal tidak sepenting terapi
sistemik. Untuk lesi di mulut dapat
diberikan kenalog in orabase.
Untuk lesi di kulit yang erosive dapat diberikan sofratulle atau
krim sulfadiazin perak.
PROGNOSIS
Kalau kita bertindak tepat dan cepat,
maka prognosis cukup memuaskan. Bila
terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan trdapat bronkopneumonia
penyakit ini dapat mendatangkan kematian.
Dalam kepustakaan angka kematian kira-kira hanya 1%.
DAFTAR
PUSTAKA
Dorland, 1998, Kamus Saku Kedokteran
Dorland (Alih bahasa : dr.Poppy Kumala, dkk.), Edisi 28, EGC, Jakarta,
1057.
Hamzah, M., 2001, Penyakit Kulit dan
Kelamin (Ketua Editor : Prof.Dr. Adhi Djuanda, Anggota Editor :
dr.Mochtar Hamzah dan Dr. Siti Aisah), Edisi 3, Cetakan 3, FKUI, Jakarta,
147-149.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar