Dilema Apoteker dalam Pelayanan
Kefarmasian
DEWASA ini hampir seluruh
pembuatan obat diambil alih oleh industri farmasi dengan skala produksi yang
sangat besar dan jaringan distribusi yang luas. Pergeseran dari bentuk racikan
obat menjadi produksi skala besar itu membawa implikasi yang luas pada bentuk
pelayanan farmasi (pharmaceutical care) yang harus diberikan kepada
masyarakat. Pelayanan kefarmasian kepada masyarakat terutama dan umumnya
berlangsung di apotek. Tujuan pokoknya adalah agar masyarakat mendapatkan obat
yang bermutu baik dengan informasi yang selengkap-lengkapnya. Informasi ini
meliputi dosis, efek samping, cara pakai atau hal-hal apa saja yang tidak boleh
dilakukan berkenaan dengan manfaat terapi obat yang diharapkan, seperti
kebiasaan merokok ataupun mengonsumsi jenis makanan tertentu. Di lain pihak,
pemberian informasi obat ke- pada dokter juga dirasakan sangat penting,
terutama dalam rangka pemilihan obat yang tepat dan rasional dari hasil
diagnosis penyakit pasien.
Di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa apoteker sebagai peran sentral dan bertanggung jawab penuh dalam memberikan informasi obat kepada masyarakat belum melaksanakan dengan baik, bahkan dapat disebut kesenjangan ini terlalu lebar. Berdasarkan hasil wawancara di 19 apotek di Jawa beberapa waktu lalu, terungkap bahwa sekitar 50 persen pengunjung belum pernah bertemu dengan apotekernya, dan hanya 5,3 persen apoteker yang memberikan informasi obat kepada pembeli.
Di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa apoteker sebagai peran sentral dan bertanggung jawab penuh dalam memberikan informasi obat kepada masyarakat belum melaksanakan dengan baik, bahkan dapat disebut kesenjangan ini terlalu lebar. Berdasarkan hasil wawancara di 19 apotek di Jawa beberapa waktu lalu, terungkap bahwa sekitar 50 persen pengunjung belum pernah bertemu dengan apotekernya, dan hanya 5,3 persen apoteker yang memberikan informasi obat kepada pembeli.
Data ini signifikan dengan
kesimpulan yang didapat dalam berbagai forum internasional, baik forum WHO
seperti Nairobi Conference, International Conference on Drug Regulatory
Authorities (ICDRA) maupun forum profesi seperti World Conference on Clinical
Pharmacology & Therepeutics, yang mengakui bahwa pelayanan informasi obat
merupakan salah satu kebutuhan kritis yang saat ini belum dipenuhi. Kesenjangan
ini memberikan kesan dan citra yang kurang baik bagi profesi apoteker.
Masyarakat tentunya merasa sekali kekuranghadiran apoteker dalam setiap
melayani langsung kepada pasien. Di mata mereka, sosok apoteker semakin tidak
jelas kedudukan spesifiknya. Dan dampak lanjutannya, sedikit banyak masyarakat
akan meremehkan peran dan fungsi apoteker di apotek.
Dilema
Dalam Undang-Undang (UU)
Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 telah diatur tentang peranan profesi apoteker,
yakni pembuatan, termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengem- bangan obat dan obat
tradisional.
Sejalan dengan itu, pemerintah
pun secara spesifik telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tentang
tugas dan fungsi apoteker di apotek, yaitu sebagai tempat pengabdian profesi
apoteker yang paling sering berhubungan langsung dengan masyarakat dan tempat
pelayanan kefarmasian yang dilakukan secara profesional. Keberadaan ini juga
diakui dan tertuang dalam Etika Profesi Apoteker, yaitu, ” Apoteker akan
menyampaikan kebenaran informasi obat yang diberikan berdasarkan ilmu pengetahuan
yang sesuai dan bertanggung jawab secara profesional dan kemanusiaan.” Kalau
ternyata dalam realisasinya peran apoteker ini belum memenuhi tugas dan
fungsinya, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
·
Pertama, umumnya sebagian besar
apoteker bukanlah sebagai Pemilik Sarana apotek ( PSA ). Mereka bekerja hanya
sebagai penanggungjawab, selebihnya yang berperan aktif adalah PSA. Sehingga
bekerja di apotek bukan sebagai pekerjaan pokok tetapi pekerjaan sambilan.
Waktu kerja mereka lebih difokuskan dan dicurahkan untuk pekerjaan pokoknya.
Maka tak heran bila seorang apoteker bisa bekerja di beberapa tempat atau
berwiraswasta. Jam kerja di apotek biasa mereka lakukan setelah waktu kerja
pokok mereka selesai, itu pun hanya beberapa jam.Alasan ini sebenarnya sangat
manusiawi sekali, karena gaji bekerja di apotek dirasa belum mampu memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Walaupun gaji ini sebenarnya sudah sebanding dengan
pekerjaan mereka, pada saat peran apoteker belum optimal, mereka menjalankan
sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
·
Kedua, terjadinya pergeseran fungsi
apotek yang orientasinya semakin dominan ke bisnis dibanding orientasi sosial.
Pergeseran ini mengakibatkan peran sosial apoteker sebagai pemberi informasi
obat kepada pasien tidaklah menjadi penting sepanjang usaha apotek yang
dikelolanya tetap survive. Pelayanan cepat dan harga obat yang murah
menjadi titik yang strategis. Sehingga kegiatan bisnis disini hampir tak ada
bedanya dengan usaha bentuk lain, yang penting untung sebesar-besarnya.
Masyarakat sendiri ternyata tidak mempedulikan, yang penting dapat obat murah
dan pelayanan cepat.
·
Ketiga, kurang siapnya apoteker,
terutama apoteker lulusan baru, dalam mempersiapkan bekal pengetahuan untuk
bekerja di apotek. Cita-cita mereka selama kuliah, inginnya bekerja di industri
karena gajinya lebih besar dan jenjang karier menjanjikan. Selain itu pemikiran
mereka sudah terpola bahwa kerja di apotek terkesan santai dan tidak
membutuhkan jam kerja yang banyak. Bahkan kadang-kadang jadwal kunjungannya
tidak tentu.
Profesionalisme
Ada pepatah yang mengatakan
tidak ada yang tidak berubah di dunia ini. Yang tetap tidak pernah berubah
adalah perubahan itu sendiri. Artinya semuanya berubah. Berkaitan dengan
masalah di atas, maka bukan suatu hal yang terlambat bagi pihak-pihak yang
terkait untuk berbenah diri kembali menempatkan pada posisi dan kedudukannya
sesuai dengan tanggungjawabnya.Sikap perilaku profesionalisme yang didukung
keinginan selalu berbuat benar, merupakan wujud realisasi yang menopang sistem
dan aturan yang ditentukan mulus berjalan. Kode etik yang pada dasarnya adalah
tatanan nilai etis dan moral yang berkaitan langsung dengan perilaku individu
dalam suatu profesi merupakan komitmen moral yang harus dihormati dan menjiwai
perilaku, seluruh sikap dan tindakan profesionalisme. Dengan berupaya
mengembalikan kembali keberadaan profesi apoteker di Indonesia yang ditunjang
pengetahuan, ketrampilan dan keahlian dalam pelayanan kefarmasian, di masa
depan akan memberikan justifikasi yang kuat karena fungsi dan peran apoteker
ini semakin jelas. Keberadaan ini pada akhirnya menjadi kunci kemajuan usaha
apotek, yang tentunya akan berdampak menaikkan kesejahteraan apoteker dan
menjadikan apotek sebagai pekerjaan pokok.
PSA sebagai pemilik modal utama
diharapkan untuk memberikan kesempatan dan peluang bagi apoteker untuk
mengoptimalkan peran dan fungsinya, khususnya dalam menyampaikan informasi obat
kepada masyarakat. Karena keberhasilan strategi bisnis apapun yang dijalankan
sangat ditentukan apabila setelah mendapat informasi obat dalam diri pasien
tumbuh kepuasan dan keyakinan akan sembuh. Di pihak masyarakat, alangkah tepat
dan bijaksana untuk selalu berusaha sebelum mengonsumsi obat yang dibeli
hendaknya tahu betul dan paham tentang segala hal yang berkaitan dengan obat
yang akan dipakainya. Masyarakat harus aktif untuk selalu menanyakan kepada
apotekernya. Mulailah berusaha sedapat mungkin membeli obat di apotek yang
apotekernya memberi waktu untuk berkonsultasi. Karena ini semua untuk
melindungi masyarakat itu sendiri dari bahaya pemakaian obat yang kurang tepat,
akibat lemahnya pengetahuan tentang obat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar