Kamis, 08 Maret 2012

Dilema Apoteker

Dilema Apoteker dalam Pelayanan Kefarmasian

DEWASA ini hampir seluruh pembuatan obat diambil alih oleh industri farmasi dengan skala produksi yang sangat besar dan jaringan distribusi yang luas. Pergeseran dari bentuk racikan obat menjadi produksi skala besar itu membawa implikasi yang luas pada bentuk pelayanan farmasi (pharmaceutical care) yang harus diberikan kepada masyarakat. Pelayanan kefarmasian kepada masyarakat terutama dan umumnya berlangsung di apotek. Tujuan pokoknya adalah agar masyarakat mendapatkan obat yang bermutu baik dengan informasi yang selengkap-lengkapnya. Informasi ini meliputi dosis, efek samping, cara pakai atau hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan berkenaan dengan manfaat terapi obat yang diharapkan, seperti kebiasaan merokok ataupun mengonsumsi jenis makanan tertentu. Di lain pihak, pemberian informasi obat ke- pada dokter juga dirasakan sangat penting, terutama dalam rangka pemilihan obat yang tepat dan rasional dari hasil diagnosis penyakit pasien. 

Di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa apoteker sebagai peran sentral dan bertanggung jawab penuh dalam memberikan informasi obat kepada masyarakat belum melaksanakan dengan baik, bahkan dapat disebut kesenjangan ini terlalu lebar. Berdasarkan hasil wawancara di 19 apotek di Jawa beberapa waktu lalu, terungkap bahwa sekitar 50 persen pengunjung belum pernah bertemu dengan apotekernya, dan hanya 5,3 persen apoteker yang memberikan informasi obat kepada pembeli.
Data ini signifikan dengan kesimpulan yang didapat dalam berbagai forum internasional, baik forum WHO seperti Nairobi Conference, International Conference on Drug Regulatory Authorities (ICDRA) maupun forum profesi seperti World Conference on Clinical Pharmacology & Therepeutics, yang mengakui bahwa pelayanan informasi obat merupakan salah satu kebutuhan kritis yang saat ini belum dipenuhi. Kesenjangan ini memberikan kesan dan citra yang kurang baik bagi profesi apoteker. Masyarakat tentunya merasa sekali kekuranghadiran apoteker dalam setiap melayani langsung kepada pasien. Di mata mereka, sosok apoteker semakin tidak jelas kedudukan spesifiknya. Dan dampak lanjutannya, sedikit banyak masyarakat akan meremehkan peran dan fungsi apoteker di apotek.

Dilema
Dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 telah diatur tentang peranan profesi apoteker, yakni pembuatan, termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengem- bangan obat dan obat tradisional.
Sejalan dengan itu, pemerintah pun secara spesifik telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tentang tugas dan fungsi apoteker di apotek, yaitu sebagai tempat pengabdian profesi apoteker yang paling sering berhubungan langsung dengan masyarakat dan tempat pelayanan kefarmasian yang dilakukan secara profesional. Keberadaan ini juga diakui dan tertuang dalam Etika Profesi Apoteker, yaitu, ” Apoteker akan menyampaikan kebenaran informasi obat yang diberikan berdasarkan ilmu pengetahuan yang sesuai dan bertanggung jawab secara profesional dan kemanusiaan.” Kalau ternyata dalam realisasinya peran apoteker ini belum memenuhi tugas dan fungsinya, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
·         Pertama, umumnya sebagian besar apoteker bukanlah sebagai Pemilik Sarana apotek ( PSA ). Mereka bekerja hanya sebagai penanggungjawab, selebihnya yang berperan aktif adalah PSA. Sehingga bekerja di apotek bukan sebagai pekerjaan pokok tetapi pekerjaan sambilan. Waktu kerja mereka lebih difokuskan dan dicurahkan untuk pekerjaan pokoknya. Maka tak heran bila seorang apoteker bisa bekerja di beberapa tempat atau berwiraswasta. Jam kerja di apotek biasa mereka lakukan setelah waktu kerja pokok mereka selesai, itu pun hanya beberapa jam.Alasan ini sebenarnya sangat manusiawi sekali, karena gaji bekerja di apotek dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Walaupun gaji ini sebenarnya sudah sebanding dengan pekerjaan mereka, pada saat peran apoteker belum optimal, mereka menjalankan sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
·         Kedua, terjadinya pergeseran fungsi apotek yang orientasinya semakin dominan ke bisnis dibanding orientasi sosial. Pergeseran ini mengakibatkan peran sosial apoteker sebagai pemberi informasi obat kepada pasien tidaklah menjadi penting sepanjang usaha apotek yang dikelolanya tetap survive. Pelayanan cepat dan harga obat yang murah menjadi titik yang strategis. Sehingga kegiatan bisnis disini hampir tak ada bedanya dengan usaha bentuk lain, yang penting untung sebesar-besarnya. Masyarakat sendiri ternyata tidak mempedulikan, yang penting dapat obat murah dan pelayanan cepat.
·         Ketiga, kurang siapnya apoteker, terutama apoteker lulusan baru, dalam mempersiapkan bekal pengetahuan untuk bekerja di apotek. Cita-cita mereka selama kuliah, inginnya bekerja di industri karena gajinya lebih besar dan jenjang karier menjanjikan. Selain itu pemikiran mereka sudah terpola bahwa kerja di apotek terkesan santai dan tidak membutuhkan jam kerja yang banyak. Bahkan kadang-kadang jadwal kunjungannya tidak tentu.

Profesionalisme
Ada pepatah yang mengatakan tidak ada yang tidak berubah di dunia ini. Yang tetap tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Artinya semuanya berubah. Berkaitan dengan masalah di atas, maka bukan suatu hal yang terlambat bagi pihak-pihak yang terkait untuk berbenah diri kembali menempatkan pada posisi dan kedudukannya sesuai dengan tanggungjawabnya.Sikap perilaku profesionalisme yang didukung keinginan selalu berbuat benar, merupakan wujud realisasi yang menopang sistem dan aturan yang ditentukan mulus berjalan. Kode etik yang pada dasarnya adalah tatanan nilai etis dan moral yang berkaitan langsung dengan perilaku individu dalam suatu profesi merupakan komitmen moral yang harus dihormati dan menjiwai perilaku, seluruh sikap dan tindakan profesionalisme. Dengan berupaya mengembalikan kembali keberadaan profesi apoteker di Indonesia yang ditunjang pengetahuan, ketrampilan dan keahlian dalam pelayanan kefarmasian, di masa depan akan memberikan justifikasi yang kuat karena fungsi dan peran apoteker ini semakin jelas. Keberadaan ini pada akhirnya menjadi kunci kemajuan usaha apotek, yang tentunya akan berdampak menaikkan kesejahteraan apoteker dan menjadikan apotek sebagai pekerjaan pokok.
PSA sebagai pemilik modal utama diharapkan untuk memberikan kesempatan dan peluang bagi apoteker untuk mengoptimalkan peran dan fungsinya, khususnya dalam menyampaikan informasi obat kepada masyarakat. Karena keberhasilan strategi bisnis apapun yang dijalankan sangat ditentukan apabila setelah mendapat informasi obat dalam diri pasien tumbuh kepuasan dan keyakinan akan sembuh. Di pihak masyarakat, alangkah tepat dan bijaksana untuk selalu berusaha sebelum mengonsumsi obat yang dibeli hendaknya tahu betul dan paham tentang segala hal yang berkaitan dengan obat yang akan dipakainya. Masyarakat harus aktif untuk selalu menanyakan kepada apotekernya. Mulailah berusaha sedapat mungkin membeli obat di apotek yang apotekernya memberi waktu untuk berkonsultasi. Karena ini semua untuk melindungi masyarakat itu sendiri dari bahaya pemakaian obat yang kurang tepat, akibat lemahnya pengetahuan tentang obat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar