A.
Judul Usulan
Validasi Metode Spektrofotometer
Ultraviolet pada Penentuan Kadar Parasetamol dalam Sediaan Obat
B.
Latar
Belakang
Pengawasan produk obat harus dilakukan untuk menjamin mutu dan
keamanannya. Salah satu jenis pengawasan mutu tersebut adalah analisis kadar
senyawa aktif dalam proses pengendalian mutu obat. Penentuan kadar senyawa
aktif memerlukan suatu metode analisis dengan ketelitian dan ketepatan yang
cukup baik (Wulandari, 2007:1).
Penentuan kadar senyawa aktif sebagai salah
satu bentuk pengukuran analitik pada prinsipnya bertujuan untuk mencari “nilai
sebenarnya” dari suatu parameter kuantitas kimiawi. Nilai sebenarnya adalah
nilai yang mengkarakterisasi suatu kuantitas secara benar dan didefinisikan
pada kondisi tertentu yang eksis pada saat kuantitas tersebut diukur. Nilai
sebenarnya dapat diperoleh dengan baik jika metode yang dipakai merupakan
standar baku, serta menggunakan instrumen yang telah terkalibrasi dan keduanya telah
memenuhi parameter-parameter validasi.
Spektrofotometri
ultraviolet merupakan salah satu metode yang lazim digunakan untuk penetapan
kadar parasetamol dalam sediaan obat analgesik dan antipiretik yang mengandung
parasetamol. Beberapa metode lainnya seperti titrimetri dan kromatografi cair
yang tercantum dalam farmakope Indonesia (1995:649), dapat pula diaplikasikan
dalam penetapan parasetamol dalam bentuk bahan baku serta dalam bentuk sediaan.
Dalam bentuk kompleks/kombinasi dengan obat lainnya, parasetamol dapat
ditentukan kadarnya dengan spektrofotometri,
voltametri,
spektrometri
FTIR ( Fourier Transform Infrared ), HPLC (High Pressure Liquid
Chromatography), dan elektroforesis (Sinan Suzen, et al, 1998:94).
Sebagai suatu analisis
kuantitatif, spektrofotometer Ultraviolet ini dapat dijadikan sebagai metode alternatif dalam pengawasan mutu
obat analgesik dan antipiretik dengan senyawa aktif parasetamol,
dengan berbagai keuntungan yang dimilikinya seperti; cepat, mudah, murah, dan
tanpa adanya tahap pemisahan. Metode analisis penentuan kadar parasetamol dapat
digunakan untuk analisis rutin jika telah tervalidasi.
Seperti yang tercantum dalam ISO/IEC
klausul 5.4.5.1, validasi
diartikan sebagai konfirmasi melalui pengujian dan pengadaan bukti yang
objektif bahwa persyaratan tertentu untuk suatu maksud khusus telah dipenuhi.
Sedangkan validasi metode analisis merupakan suatu tindakan penilaian terhadap
parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium untuk membuktikan bahwa
parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita,
2004:117).
Sebagai suatu proses yang tidak tunggal, validasi merupakan suatu
bagian dari prosedur analisis yang tidak dapat dipisahkan (Ermer dan Miller,
2005:5-6). Proses ini dilakukan untuk metode yang baru dikembangkan, atau jika
metode tersebut akan digunakan untuk kegiatan yang yang bersifat rutin, jika
terjadi perubahan antara kondisi analisis dan kondisi pada saat validasi
metode, dan jika terjadi perubahan metode dari metode standar.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul:
“ Validasi Metode Spektrofotometer Ultraviolet pada
Penentuan Kadar Parasetamol dalam Sediaan Obat “.
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan
masalah yang dapat diambil adalah: “apakah validasi metode spektrofotometer
ultraviolet dapat digunakan pada penetapan kadar parasetamol dalam sediaan obat
yang memenuhi uji validasi?
D.
Tujuan
Penulisan
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui validitas metode
spektrofotometer ultraviolet pada penetapan kadar parasetamol dalam sediaan obat
yang dihasilkan dengan melihat parameter validasi yang meliputi; liniearitas,
limit deteksi, limit kuantitasi, ketelitian, dan ketepatan.
E.
Manfaat Penulisan
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu metode yang valid dan handal
sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam proses analisis parasetamol dalam sediaan obat.
F.
Tinjauan
Pustaka
1.
Validasi Metode
Tujuan utama yang harus dicapai dari suatu
kegiatan analisis kimia adalah dihasilkannya data hasil uji yang abash (valid).
Secara sederhana hasil uji yang abash dapat digambarkan sebagai hasil uji yang
mempunyai akurasi (accuracy) dan presisi (precission) yang baik.
Seperti yang tertuang dalam ISO/IEC 17025
klausul 5.4.5.1 , validasi diartikan sebagai kegiatan konfirmasi melalui pengujian
dan pengadaan bukti yang objektif bahwa persyaratan tertentu untuk suatu maksud
khusus harus dipenuhi.
Validasi metode analisis adalah suatu
proses penilaian terhadap metode analisis tertentu berdasarkan percobaan
laboratorium untuk membuktikan bahwa metode tersebut memenuhi persyaratan untuk
digunakan (Harmita, 2004: 117). Selain itu, validasi metode dilakukan jika
terjadi perubahan kondisi antara kondisi analisis dan kondisi pada saat
validasi metode, atau terjadi perubahan metode dari metode standar. Beberapa
manfaat validasi metode analisis adalah untuk mengevaluasi unjuk kerja suatu
metode analisis, menjamin prosedur analisis, menjamin keakuratan dan kedapat
ulangan hasil prosedur analisis, dan mengurangi resiko penyimpangan yang
mungkin timbul (Wulandari, 2007: 4).
Menurut Wea (2010:6), tujuan
dari validasi metode adalah
untuk mengetahui sejumlah mana penyimpangan yang tidak dapat dihindari suatu
metode kondisi normal dimana seluruh elemen terkait telah dilaksanakan dengan
baik. Disamping itu dengan memvalidasi
metode dapat diperkirakan dengan pasti tingkat kepercayaan yang dihasilkan
oleh suatu metode pengujian maupun
dari metode instrument yang digunakan. Untuk
mendapatkan hasil yang paling akurat dari suatu validasi, maka semua variabel
dari metode harus diperhitungkan, seperti jenis atau matriks contoh, cara
penyiapan contoh dan cara evaluasi data.
Dalam proses validasi metode, parameter-parameter
unjuk kerja metode ditentukan dengan menggunakan peralatan yang memenuhi
spesifikasi, bekerja dengan baik dan terkalibrasi secara memadai. Secara umum,
validasi metode mencakup penentuan yang berkaitan dengan alat dan metode
(Nugroho, 2006: 101). Prosedur analisis yang harus divalidasi meliputi beberapa
jenis pengujian, yaitu adanya
pengotor, uji limit untuk mengendalikan keberadaan
pengotor, serta uji kuantitatif
komponen aktif atau komponen lain
dalam produk obat-obatan. Selain itu, terdapat
8 parameter validasi metode analisis, yaitu
spesifisitas, ketelitian, ketepatan, linearitas,
kisaran, limit deteksi, limit kuantitasi, dan
ketangguhan, sedangkan parameter yang
harus dipenuhi untuk validasi metode analisis
produk obat-obatan meliputi spesifisitas, linearitas,
kisaran, limit deteksi, limit kuantitasi,
ketelitian, dan ketepatan.
a. Linieritas
Linearitas
menunjukkan kemampuan suatu metode
analisis untuk memperoleh hasil pengujian
yang sesuai dengan konsentrasi analit
dalam contoh pada kisaran konsentrasi tertentu.
Hal ini dapat dilakukan dengan
cara membuat kurva kalibrasi dari beberapa
set larutan standar yang telah diketahui
konsentrasinya. Persamaan garis yang
digunakan pada kurva kalibrasi diperoleh
dari metode kuadrat terkecil, yaitu y = a
+ bx. Persamaan ini akan menghasilkan koefisien
korelasi (r). Koefisien korelasi inilah
yang digunakan untuk mengetahui linearitas
suatu metode analisis. Penetapan linearitas
minimum menggunakan lima konsentrasi
yang berbeda. Nilai koefisien korelasi
yang memenuhi persyaratan adalah lebih
besar dari 0.9970 (ICH 1995 diacu dalam
Chan 2004).
Linearitas
juga dapat diketahui dari kemiringan
garis, intersep, dan residual (Ermer
& Miller 2005). Residual menyatakan besarnya
penyimpangan yang terjadi antara nilai
yang terukur (y) dan nilai teoretis yang dihitung
dari persamaan regresi (ŷ). Plot antara
residual dan konsentrasi dibuat untuk mengetahui
distribusi residual secara statistik. Jika
residual terdistribusi secara normal (rerata
mendekati nol dan berbentuk linear), maka
persamaan regresi dapat dikatakan mempunyai
bentuk yang benar.
b. Limit Deteksi dan Kimit Kuantitasi
Limit
deteksi (LD) merupakan jumlah atau konsentrasi
terkecil analit dalam contoh yang dapat
dideteksi, namun tidak perlu diukur sesuai
dengan nilai sebenarnya. Limit kuantitasi
(LK) adalah jumlah analit terkecil dalam
contoh yang dapat ditentukan secara kuantitatif
pada tingkat ketelitian dan ketepatan
yang baik. Limit kuantitasi merupakan
parameter pengujian kuantitatif untuk
konsentrasi analit yang rendah dalam matriks
yang kompleks dan digunakan untuk menentukan
adanya pengotor atau degradasi produk
(ICH 1995). Limit deteksi dan limit kuantitasi
dihitung dari rerata kemiringan garis
dan simpangan baku intersep kurva standar
yang diperoleh.
c. Ketelitian
Ketelitian
prosedur analisis menyatakan kedekatan
hasil dari sederet pengukuran yang diperoleh
dari contoh yang homogen pada kondisi
tertentu (ICH 1995). Ketelitian dinyatakan
dengan 3 cara, yaitu keterulangan (repeatability),
ketelitian intermediet (intermediet precision), dan ketertiruan (reproducibility). Keterulangan
adalah pengukuran ketelitian dengan
metode, peralatan, dan laboratorium
yang sama pada selang waktu tertentu.
Ketelitian intermediet dilakukan dalam
laboratorium yang sama, namun dengan
operator dan peralatan yang berbeda serta
pada hari yang berlainan. Ketertiruan merupakan
pengukuran ketelitian yang dilakukan
dengan peralatan, operator, dan laboratorium
yang berbeda.
d. Ketepatan
Ketepatan
suatu metode analisis didefinisikan
sebagai kedekatan hasil yang diterima
(baik sebagai nilai teoretis maupun sebagai
nilai rujukan yang diterima) dengan nilai
yang diperoleh dari hasil pengukuran (ICH
1995 diacu dalam Chan 2004). Ketepatan
dinyatakan sebagai perolehan kembali
yang ditentukan dengan cara menambahkan
sejumlah tertentu standar dari analit
yang akan diukur ke dalam contoh. Perolehan
kembali (%) yang dapat diterima menurut
ICH adalah 98–102%. ICH juga mensyaratkan
minimum 9 kali pengukuran
pada 3 tingkat
konsentrasi yang berbeda.
2. Spektrofotometer Ultraviolet
Spektroskopi merupakan studi antaraksi radiasi elekromagnetik
dengan materi. Radiasi elektromagnetik adalah suatu bentuk dari energi yang
diteruskan melalui ruang dengan kecepatan yang luar biasa. Dikenal berbagai
bentuk radiasi elektromagnetik dan yang mudah dilihat adalah cahaya atau sinar
tampak. Daerah sinar tampak mulai dari warna merah pada panjang gelombang 780
nm sampai warna ungu pada panjang gelombang 380 nm (kisaran frekuensi 12800 –
26300 cm-1). Sedangkan daerah ultraviolet berkisar dari 380 nm
sampai 180 nm (kisaran frekuensi 2630 – 55500 cm-1). Energi pada
daerah ultraviolet dan sinar tampak
berkisar dari 140 sampai 660 kj/mol (Mudzakir dan Soja Fatimah, 2008: 62-65).
Gambar 1. Daerah Spektrum Radiasi Elektromagnetik
Teknik spektroskopi pada
daerah ultraviolet dan sinar tampak biasa disebut spektroskopi UV-Vis atau
spektrofotometer UV-Vis. Dari spekrum absorbsi dapat diketahui panjang
gelombang dengan absorbansi maksimum dari suatu unsur atau senyawa. Konsentrasi
suatu unsur atau senyawa juga dengan mudah dapat dihitung dari kurva standar
yang diukur pada panjang gelombang dengan absorbansi maksimum yang telah
ditentukan.
Radiasi yang berasal dari
ultraviolet-visibel diabsorbsi oleh molekul organik aromatik, molekul yang
mengandung elektron-π terkonjugasi dan atau atom yang mengandung elektron-n,
menyebabkan transisi elektron dari orbit terluarnyadari tingkat energi elektron
dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi yang lebih tinggi. Besarnya
absorbansi radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit yang
mengabsorbsi dan dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Satiadarma, dkk,
2004:87)
Spektrofotometer
Spectronic-20 merupakan salah satu contoh spektrofotometer yang dapat digunakan
untuk mengukur serapan sinar ultraviolet dan sinar tampak oleh suatu materi
dalam bentuk larutannya. Jumlah cahaya yang diserap oleh suatu zat dalam
larutan berbanding lurus dengan konsentrasi zat dalam larutannya. Hubungan
antara serapan cahaya dengan konsentrasi zat dalam larutan dapat dinyatakan
dengan persamaan Lambert-Beer berikut ini:
A = - log T = є b c
Dimana: A = absorbansi
T = transmitansi
є = absorptivitas molar (L/mol cm)
b = panjang sel (cm)
c = konsentrasi zat yang menyerap sinar (mol/L)
Dalam
aplikasinya, terdapat beberapa persyaratan agar hukum Lambert‐Beer
dapat digunakan, yaitu:
a.
Syarat
konsentrasi, konsentrasi larutan yang diukur harus encer
b.
Syarat
kimia, zat pengabsorbsi (zat yang dianalisis) tidak boleh terdisosiasi,
berasosiasi atau bereaksi dengan pelarut menghasilkan produk lain.
c.
Syarat
cahaya, radiasi cahaya yang digunakan untuk pengukuran harus monokromatis
(cahaya yang mempunyai satu macam panjang gelombang).
d.
Syarat
kejernihan, kekeruhan larutan yang disebabkan oleh partikel-partikel koloid
misalnya menyebabkan penyimpangan hukum Beer.
Gambar 2. Spektronik 20 (Model Camspec M-106)
(Sumber: http://teknologikimiaindustri.blogspot.com/2011/01/uv-visible.html)
Penyimpangan
dari Hukum Beer dapat disebabkan oleh variabel kimia atau instrumen. Kegagalan
Hukum Beer dapat disebabkan oleh perubahan kadar molekul terlarut sebagai
akibat asosiasi molekul terlarut atau asosiasi antara molekul terlarutdan
molekul pelarut, atau disosiasi atau ionisasi. Penyimpangan lain dapat
disebabkan oleh pengaruh instrumen seperti radiasi polikromatis, lebar celah,
atau cahaya yang menyimpang (Hendayana, 1994: 176).
Secara
eksperimental, sangat mudah untuk mengukur banyaknya radiasi yang diserap oleh
suatu molekul sebagai fungsi frekuensi radiasi.
Suatu grafik yang menghubungkan antara banyaknya sinar yang diserap dengan
frekuensi (atau panjang gelombang) sinar merupakan spektrum absorpsi. Transisi
yang dibolehkan (allowed transition) untuk suatu molekul dengan struktur
kimia yang berbeda tidaklah sama, sehingga spektrum absorpsinya juga berbeda.
Dengan demikian, sepektrum dapat digunakan sebagai bahan informasi yang bermanfaat
untuk analisa kualitatif. Banyaknya sinar yang diabsorbsi pada panjang
gelombang tertentu sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap radiasi,
sehingga spectrum absorpsi juga dapat digunakan untuk analisa kuantitatif
(Gandjar dan Rohman (2007) dalam Sirait, 2009: 21).
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis
spektrofotometer ultraviolet, diantaranya:
a. Pemilihan panjang gelombang maksimum
Panjang gelombang yang digunakan untuk
analisis kuantitatif adalah panjang gelombang dimana terjadi serapan maksimum.
Untuk memperoleh panjang gelombang serapan maksimum, dilakukan dengan membuat
kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan
baku pada konsentrasi tertentu.
b. Pembuatan kurva kalibrasi
Kurva kalibrasi dibuat seri dari larutan
baku zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing
absorbansi larutan dengan berbagai absorbansi diukur, kemudian dibuat kurva
yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. Bila hukum
Lamber-Beer terpenuhi maka kurva kalibrasi berupa garis lurus.
c. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan
Absorbansi yang terbaca pada
spektrofotometer hendaknya antara 0,2 sampai 0,6. Anjuran ini berdasarkan
anggapan bahwa pada kisaran nilai absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang
terjadi adalah paling minimal.
Sama halnya seperti instrumentasi spektrofotometer ultraviolet lainnya, spektronik
20 model Camspec M-106 Spectrophotometer memiliki instrumentasi yang terdiri dari lima
komponen utama, yaitu ;
a. Sumber sinar
Sumber sinar yang ideal
untuk spektroskopi absorpsi harus memancarkan spectrum yang kontinyu, berintensitas
tinggi dan merata pada daerah panjang gelombang yang digunakan. Sumber sinar dapat dibedakan menjadi dua jenis:
1. Sumber sinar ultraviolet
Spektrum kontinyu dalam
daerah UV dihasilkan dari eksitasi electron deuterium pada tekanan rendah.
Harga lampu cukup mahal dan umur pemakaiannya relatif pendek.
2. Sumber sinar tampak
Sumber sinar tampak biasanya lampu Tungsten atau
pijaran kawat Wolfram. Lampu ini tidak memerlukan perawatan khusus karena
relatif murah serta sinar yang dipancarkan tidak membahayakan (Soja Siti
Fatimah, 2003:6-7).
b. Wadah sampel
Wadah sampel yang
digunakan pada
umumnya disebut sel atau kuvet. Kuvet harus mempunyai jendela dari bahan tembus sinar
pada daerah spectra pengamatan. Bahan yang sering digunakan adalah: gelas,
kuarsa dan plastik bergantung kebutuhan. Kuvet adalah bagian dari jalan optik,
sehingga sifat-sifat optiknya sangat penting. Kuvet mudah terkontaminasi oleh
penguapan pelarut, mudah terkena debu dan lemak bila dipegang langsung dan
mudah tergores. Keadan tersebut dapat menurunkan sifat transmisi dan akibatnya
ketelitian menurun. Beberapa macam kuvet berdasarkan berbagai penggolongannya
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa Macam Kuvet / Wadah Sampel
No.
|
Penggolongan
|
Macam
|
Keterangan
|
1
|
Berdasarkan
pemakaiannya
|
Kuvet permanen
|
dibuat dari bahan
gelas atau leburan silika
|
Kuvet dispossable
|
dibuat dari teflon
atau plastik
|
||
2
|
Berdasarkan
bahannya
|
Kuvet dari silika
|
dipakai untuk analisis kuantitatif dan kualitatif pada daerah
pengukuran 190‐1100 nm
|
Kuvet dari gelas
|
dipakai untuk analisis kuantitatif dan kualitatif pada daerah
pengukuran 380‐1100 nm karena
bahan dari gelas dapat mengabsorpsi radiasi UV
|
||
3
|
Berdasarkan
penggunaannya
|
Kuvet bermulut sempit
|
untuk mengukur kadar zat alam pelarut yang mudah menguap
|
Kuvet bermulut lebar
|
untuk mengukur kadar zat alam pelarut
yang tidak mudah menguap
|
c. Monokromator
Monokhromator adalah
alat yang paling umum dipakai untuk menghasilkan berkas radiasi dengan satu
panjang gelombang. Monokhromator untuk radiasi ultra violet, sinar tampak, dan
infra merah adalah serupa yaitu mempunyai celah (slit), lensa, cermin, dan prisma
atau grating.
Terdapat dua macam
monokhromator yaitu monokhromator prisma Bunsen dan monokhromator grating
Czerney – Turner. Pada dasarnya, komponen monokromator terdiri
dari :
1.
Celah masuk, berperan penting dalam
terbentuknya radiasi monokromatis dan resolusi panjang gelombang.
2. Filter, berfungsi
untuk menyerap warna komplementer sehingga cahaya yang diteruskan merupakan
cahaya berwarna yang sesuai dengan panjang gelombang yang dipilih.
3. Prisma, berfungsi
untuk mendispersikan radiasi elektromagnetik sebesar mungkin supaya didapatkan
resolusi yang baik dari radiasi polikromatis.
4. Kisi, fungsinya sama
seperti prisma, namun karena bentuk kisi adalah konkaf, maka dapat memberikan
resolusi radiasi yang lebih baik.
5. Celah keluar, tempat keluarnya sinar monokromatis yang selanjutnya akan
diteruskan menuju sampel.
d. Detektor dan Transducer
Peralatan detektor telah didukung oleh transducer yang mampu mangubah
energi radiasi menjadi isyarat listrik yang nantinya diperkuat oleh amplifier
sehingga mampu menggerakkan jarum pembacaan atau pena rekorder melalui
meter dalam bentuk % transmitansi (%T) atau absorbansi.. Detektor sendiri berfungsi untuk
mendeteksi cahaya yang melewati larutan.
Dikenal 2 macam detektor yaitu detektor foton dan detektor panas. Detektor foton termasuk
(1) sel photovoltalc, (2) phototube, (3) photomultiplier tube, (4) detektor semi konduktor, dan (5) detektor diode silicon.
Detektor panas biasa dipakai untuk mengukur radiasi infra merah,
termasuk thermocouple dan bolometer.
e. Rekorder
Signal listrik dari
detector biasanya diperkuat lalu direkam sebagai spektrum yang berbentuk
puncak-puncak. Plot antara panjang gelombang dan absorbansi akan dihasilkan
spektrum. Rekorder inilah yang berperan dalam merekam hasil senyawa yang telah
masuk detector ( Tim Kimia Anorganik, 2008:67-68).
Gambar 3. Skema Diagram Instrumen Spektrofotometer
(Sumber: http://www.tarleton.edu/Faculty/alow/1084exp2.htm)
Pada
dasarnya, langkah utama di dalam analisis spektrofotometri meliputi penetapan
kondisi kerja dan pembuatan suatu kurva kalibrasi yang menghubungkan
konsentrasi dengan absorbansi.
Dalam hal pemilihan
panjang gelombang, pengukuran absorbansi spektrofotometri dilakukan pada suatu
panjang gelombang yang sesuai dengan absorbsi maksimum karena perubahan absorbansi
permit. Konsentrasi besar pada titik ini, artinya absorbansi larutan encer
masih terdeteksi.
Selain
itu, terdapat pula faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi; meliputi jenis pelarut, pH larutan, suhu,
konsentrasi elektrolit yang tinggi, dan adanya zat pengganggu.
Pengaruh-pengaruh ini diketahui ; kondisi analisis harus dipilih sedemikian
hingga absorbansi tidak akan dipengaruhi sedikitpun.
Kebersihan
juga akan mempengaruhi absorbsi termasuk bekas jari pada dinding tabung harus
dibersihkan dengan kertas tisu dan hanya memegang bagian ujung atas tabung
sebelum pengukuran.
Setelah
menetapkan kondisi untuk menganalisis (seperti panjang gelombang yang sesuai),
kemudian menyiapkan kurva kalibrasi dari sederet larutan standar sebagai
penentuan hubungan antara absorbansi dan konsentrasi (Sumar Hendayana,
1994:176).
Untuk berbagai bahan farmasi, pengukuran spectrum
dalam daerah ultraviolet dan cahaya tampak dapat dilakukan dengan ketelitian
dan kepekaan yang lebih baik daripada dalam daerah inframerah dekat dan
inframerah. Apabila larutan diamati dalam kuvet 1 cm, kadar lebih kurang 10 µg
specimen per mL, sering menghasilkan serapan sebesar 0,2 hingga 0,8 di daerah
ultraviolet atau cahaya tampak. Di daerah inframerah atai inframerah dekat,
diperlukan kadar masing-masing sebesar 1 mg hingga 10 mg per mL dan hingga 100
mg per mL, untuk menghasilkan serapan yang memadai; untuk daerah spektrum ini
biasanya dipakai sel dengan panjang 0,01 mm hingga 3 mm.
Spektrum ultraviolet dan cahaya tampak suatu zat pada umumnya
tidak mempunyai derajat spesifikasi yang tinggi. Walaupun demikian, spektrum
tersebut sesuai untuk pemeriksaan kuantitatif dan untuk berbagai zat zat
spektrum tersebut bermanfaat sebagai tambahan untk identifikasi (Farmakope
Indonesia, 1995: 1061).
3. Parasetamol (Asetaminofen)
Parasetamol
merupakan zat aktif pada obat yang
banyak digunakan dan dimanfaatkan sebagai analgesik dan antipiretik. Selain
itu, zat aktif ini biasa digunakan sebagai alternatif pengganti aspirin yang dapat diperoleh tanpa adanya
resep dari dokter sekalipun ( Suzen, et al: 1998:94).
Parasetamol yang
juga dikenal sebagai asetaminofen telah digunakan secara klinis sejak tahun
1893. Parasetamol tergolong kedalam kelompok besar obat antiinflamasi nonsteroid
( Non Steroid Antiinflamatory Drugs/NSAID) yang merupakan
antipiretik efektif dengan dosis yang relatif rendah. Sedangkan kemampuan
efisiensi analgesiknya sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan NSAIDs (Munsterhjelm, 2006: 15).
Asetaminofen (parasetamol) sebagai analgesik,
digunakan luas pada penderita sakit gigi dan sakit kepala. Efek penggunaan
parasetamol mulai dapat dirasakan setelah 30 menit konsumsi obat dan kerjanya
berlangsung selama ±3 jam. Asetaminofen dapat berkonjugasi dengan asam
glukuronat atau sulfat dalam kelompok hidroksil fenolik, yang kemudian terjadi
penghilangan konjugatnya di dalam lambung. Pada dosis kecil, sebagian konjugat
dioksidasi menjadi N-asetil-benzoquinonimine . Konsumsi dosis yang tinggi
(sekitar 10 g) dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Kerusakan pada hati dapat
dihindari dengan pemberian N-asetilsitein yana diberikan secara intravena.
Konsumsi asetaminofen yang rutin dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal
(Lullman, et al, 2000: 198).
Dalam Farmakope Indonesia Edisi IV (1995:649-650),
parasetamol memiliki beberapa sinonim yaitu; paracetamolum, asetaminofen dan
4-hidroksiasetanilida. Dengan rumus kimia C8H9NO2
dan berat molekul 151,16 , senyawa ini berwujud serbuk hablur berwarna putih,
tidak berbau dengan rasa sedikit pahit. Parasetamol bersifat mudah larut dalam
etanol, air mendidih serta dalam natrium hidroksida 1 N.
Identifikasi dari senyawa ini dapat
dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
a. Inframerah
Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan di atas pengering
yang cocok dan didispersikan dalam
kalium bromide P menunjukkan harga maksimum hanya pada panjang gelombang yang
sama seperti pada parasetamol BPFI.
b. Serapan ultraviolet
Spektrum serapan ultraviolet larutan (1
dalam 200.000) dalam campuran asam klorida 0,1 N dalam methanol P (1 dalam
100), menunjukkan maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang sama seperti
pada parasetamol BPFI.
c. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Dalam uji ini, digunakan larutan 1 mg per mL dalam methanol P dan fase
gerak diklorometana P-metanol P.
Gambar 4. Struktur Kimia Parasetamol
(Sumber: Farmakope Indonesia Edisi IV,
1995: 649)
Cara kerja parasetamol sebagai analgesik
ialah bekerja dengan meningkatkan
ambang rangsang rasa sakit. Sedangakan sebagai antipiretik, parasetamol diduga
bekerja langsung pada pusat pengatur panas di hipotalamus. Indikasi dari
parasetamol ialah kemampuannya dalam meringankan rasa sakit pada keadaan sakit
kepala, sakit gigi dan menurunkan demam, dengan kontradiksi penderita gangguan
fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap zat aktif dari
senyawa ini. Efek samping yang biasa terjadi dari penggunaan bahan aktif ini
pada penggunaan jangka lama dan dosis besar dapat menyebabkan kerusakan hati
dan reaksi hipersensitivitas (http://www.actavis.co.id).
Parasetamol yang dijual dengan berbagai nama dagang beberapa diantaranya
adalah Sanmol, Pamol, Fasidol, Panadol, Itramol dan lain-lain. Menurut
peraturan Depkes, semua obat yang dijual bebas harus menuliskan nama generic
dibawah nama dagangnya yang dicantumkan di bawah “kandungan”. Namun, patut
diingat bila gejalanya hanya demam, tidak dibenarkan untuk menggunakan
parasetamol yang dicampur dengan bahan aktif lainnya, misalnya untuk pilek,
batuk, dan sebagainya. Tambahan bahan lain itu selain tidak ada gunanya, juga
menjadikan harga obat menjadi lebih mahal. Belum lagi bila menimbulkan efek
sampingan.
Secara kimia, parasetamol merupakan derivat dari para amino fenol. Di
Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik, telah
menggantikan penggunaan salisilat. Dalam sediannya, parasetamol sering
dikombinasikan dengan kafein yang berfungsi meningkatkan efektifitasnya tanpa
perlu meningkatkan dosisnya.
Sifat antipiretik dari parasetamol disebabkan oleh gugus amino benzene
dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Beberapa reaksi alergi yang
dilaporkan sering muncul antara lain: kemerahan pada kulit, gatal, bengkak, dan
kesulitan bernafas/sesak (Ishak, 2009 dalam http://ishak.unpad.ac.id/?p=886).
G. Metodologi Penelitian
1. Alat dan Bahan
Alat
Spektrofotometer UV-VIS (Camspec M-106), neraca
analitik, spatula, labu ukur
10, 25, 50, 100, 250 dan 500 mL, batang
pengaduk , corong gelas, beaker glass, kertas saring, botol semprot, pipet
volumetri 5 dan 10 mL.
Bahan
Parasetamol murni , Methanol, Aquades dan sampel parasetamol.
2. Diagram Alir Prosedur Kerja
3. Tahapan Kerja Analisis
a. Larutan parasetamol standar
1. larutan A (250 mg/L)
• menimbang
0,0625 g parasetamol murni
•
melarutkannya
dengan 10 mL methanol
•
menyaring larutan parasetamol
•
masukkan dalam labu
ukur 250 mL
•
menambahkan
aquadest sampai tanda batas
2. Larutan B
• memipet
50 mL larutan A dan mengencerkannya dengan aquades sampai 250
mL dalam labu ukur.
3. Pembuatan larutan standar kerja
•
mengambil
larutan B sebanyak 5,00 ; 10,00 ; 15,00 ; 20,00 ; dan 25,00 mL
•
memasukannya
masing-masing kedalam labu ukur 100 mL, lalu menambahkan aquadest pada
masing-masing labu ukur samapi tanda batas
•
mengukur
masing-masing larutan standar pada λ maksimal (200-300 nm)
•
mengukur
masing-masing sampel pada λ maksimal
•
menghitung konsentrasi sampel dalam mg.
b. Larutan Sampel
•
Menimbang ± 120 mg sampel yang mengandung parasetamol
•
Melarutkannya dalam 10 mL methanol
•
Menyaring larutan
•
Masukkan kedalam labu ukur 500 mL
•
Diencerkan dengan aquades sampai tanda batas
•
Memipet 5 mL larutan, kemudian memindahkannya ke dalam labu ukur 100 mL
•
Diencerkan kembali dengan aquades sampai tanda batas
•
Menghomogenkan larutan
•
Ukur serapan larutan uji dan larutan baku pada panjang gelombang serapan
maksimum lebih lebih kurang 244 nm, terhadap air sebagai blanko (Farmakope
Indonesia Edisi IV, 1995: 650)
H. Jadwal Kegiatan
No
|
Jenis Kegiatan
|
Pelaksanaan
Bulan
|
||||
Februari
|
Maret
|
April
|
Mei
|
Juni
|
||
1.
|
Studi literatur dan penyusunan laporan
|
|||||
2.
|
Persiapan Alat dan bahan
|
|||||
3.
|
Analisis Uji Standar Parasetamol dan Sampel
|
|||||
4.
|
Analisis Uji Parameter-parameter validasi
|
|||||
5.
|
Perhitungan dan Analisis Statistik
|
|||||
6.
|
Penyusunan Laporan
|
I. Daftar Pustaka
Achmad, Kukuh. S. (2000). Validasi
Metode Uji. Pusat Standarisasi dan Akreditasi Laboratorium BSN Jakarta:
tidak diterbitkan.
Anonim. (2004). “Metode Pengujian, Metode
Kalibrasi dan Validasi Berdasarkan SNI 19-17025-2000”. Info Mutu
(November 2004).
Chan, C. C,. Lam, Herman. Lee, Y. C. and
Zhang, Xue-Ming. (2004). Analytical Method Validation and Instrument
Performance Verification. Canada: John Wiley & Sons.
Dwiangga, Septyanitia. (2010). Validasi
Metode Penetapan Kadar Asam Asetilsalisilat dalam Sediaan Obat Memanfaatkan
Sinar Reflektan Terukur dari Bercak yang Dihasilkan. Skripsi Sarjana Pada
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta: tidak diterbitkan.
Ermer, J.H. and Miller, McB. (2005). Method
Validation in Pharmaceutical Analysis.A Guide to Best Practice. Weinheim:
WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA.
Farmakope Indonesia. (1995). Farmakope
Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Fatimah, Soja Siti. (2003). Kalibrasi
dan Perawatan Spektrofotometer UV-Vis. Makalah disampaikan pada program
pengabdian pada masyarakat Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI Bandung: tidak
diterbitkan.
Harmita. (2004). “Petunjuk Pelaksanaan
Metode dan Cara Perhitungannya”. Majalah Ilmu Kefarmasian (Desember
2004).
Hendayana, Sumar. (1994). KIMIA
ANALTIK INSTRUMEN. Semarang: IKIP Semarang Press.
[ICH] International Conference on
Harmonization. (2005). Validation of Analytical Procedures: Text and
Methodology Q2(R1) [terhubung berkala]. www.ich.org. [02 Maret 2011].
[ISO] International Standart Operational.
(2005). ISO/IEC 17025 (Versi Bahasa Indonesia) Persyaratan Umum Kompetensi
Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi. [terhubung berkala]. [15
Mei 2005]
Lullman, Heinz. Mohr, Klaus. Ziegler,
Albrech. and Bieger, Detlef. (2000). Color Atlas of Pharmacology: 2nd
edition, revised and expanded. New York: Thieme.
Mudzakir, Ahmad. Kusrijadi, Ali. dan
Fatimah Siti Soja. (2008). Perangkat Perkuliahan (Satuan Acara Perkuliahan,
Bahan Ajar, dan Bahan Presentasi) Praktikum Kimia Anorganik. Jurusan
Pendidikan Kimia FPMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Nugroho, Arif. Wahyono, Hendro. Dan
Fatimah, S. (2006). “Validasi Metode Alat ICP-AES Plasma 40 untuk Pengukuran
Unsur CR, P, Ti”. Jurnal Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir, BATAN.12,
(2), 100-107.
Sumardi. (2002). Validasi Metode
Pengujian. Makalah disampaikan pada pelatihan asesor laboratorium penguji,
Pusat Standarisasi dan Akreditasi Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian.
Suryani, Yani. (2004). Validasi Metode
Analisis Sorbat dan Benzoat dengan Kromatografi Gas. Skripsi Sarjana pada
FPMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Suzen. Et al. (1998) “Quantitation
of Acetaminofen in Pharmaceutical Formulations Using High-Performance Liquid
Chromatography”. J. Fac. Pharm. Ankara. 27, (2), 93-100.
Tahrir, Iqmal. (Tanpa Tahun). Arti
Penting Kalibrasi pada Proses Pengukuran Analitik Aplikasi pada Penggunaan pH
Meter dan Spektrofotometer UV-Vis. Paper Seri Manajemen Laboratorium
Jurusan Kimia FMIPA UGM Yogyakarta: tidak diterbitkan.
Wulandari, Niken. (2007). Validasi
Metode Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet untuk Penentuan Reserpin dalam
Tablet Obat. Skripsi Sarjana pada Departemen Kimia FMIPA IPB Bogor: tidak
diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar