Minggu, 22 Februari 2015

STUDI FARMAKOKINETIKA ARTEMISININ SETELAH PEMAKAIAN ORAL PREPARAT TRADISIONAL ARTEMISIA ANNUA L. (KAYU-CACING ANNUAL)

Intisari  Artemisia annua L. (kayu-cacing annual) berisi artemisinin antimalaria. Preparat mengandung air dari herbal yang dikeringkan ini dimasukkan ke dalam farmacopoeia Republik Rakyat China untuk mengobati demam dan malaria. Empatbelas sukarewalan pria sehat menerima satu liter teh yang dipreparasi dari sembilan gram daun-daun Artemisia annua. Sampel-sampal darah diambil dan artemisinin dideteksi dengan chromatografi cair performance-tinggi fase terbalik. Nilai tengah ± konsentrasi plasma maksimal SD artemisinin adalah 240 ± 75 ng/mL dan nilai tengah ± arca di bawah kurva waktu-konsentrasi plasma adalah 336 ± 71 ng/mL x jam. Artemisinin diserap lebih cepat dari praparat teh herbal daripada dari bentuk dosis padat oral, tetapi ketersediaan-hayatinya sama. Satu liter preparat mengandung air dari sembilan gram Artemisia annua berisi 94.5 miligram artemisinin (kira-kira 19% dari dosis harian direkomendasikan biasanya). Konsentrasi plasma artemisinin setelah minum teh herbal ini cukup untuk efek klinis, tetapi tidak cukup untuk merekomendasikan preparat seperti ini sama dengan substitusi ekivalen untuk obat-obatan artemisinin pada pengobatan malaria.


PENGANTAR
            Malaria adalah infeksi parasit paling penting dunia, yang menyebabkan lebih dari satu juta kematian dan 500 juta kasus setiap tahunnya. Disamping upaya besar-besaran untuk mengontrol malaria, sakit dan kematian global pada prinsipnya tidak berubah lewat 50 tahun terakhir ini. Masalah pentingnya adalah kegagalan dalam mendapatkan alat-alat efektif yang ada melawan malaria yang akan dijalankan di daerah-daerah dimana alat bisa paling mendatangkan manfaat. Jika preparat antimalaria yang aman dan efektif bisa diproduksi dengan alat-alat sederhana dari tanam-tanaman obat yang tumbuh di tempat, maka preparat semacam itu dapat menawarkan alat tambahan unuk mengendalikan malaria, khususnya di lokasi-lokasi geografis terpencil, dan dalam situasi politik dan ekonomi yang menghalangi ketersediaan obat-obatan antimalaria modern. Walau demikian, data terpercaya tentang obat-obatan klinis, kemanjuran dan keamanan preparat-preparat semacam itu sangat langka sehingga mencegah pertimbangan manfaat dan resiko potensial yang yang bertanggungjawab atas pengendalian malaria.
            Kulit pohon Cinchona puberscents (kulit Peruvian) adalah sumber quinine dan telah menjadi pengobatan utama penyakit malaria yang membuat lemah selama berabad-abad ini. Senyawa aktif, artemisinin, diisolasi oleh periset-periset China pada awal 1970-an. Pada dua dekade terakhir ini, artemisinin dan turunan-turunan semisynthetis artesunate telah ditetapkan sebagai antimalaria yang aman dan efektif. Toksisitas obat-obatan artemisinin jauh lebih rendah dari quinine, atau bahkan chloroquine. Efek merugikan besar atau tanda-tanda toksisitas tidak dilaporkan pada pasien manusia yang diberi obat dengan dosis-dosis pengobatan. Karena monotherapi dengan artemisinin menghasilkan tingkat rekrudesensi relatif tinggi dan ada kekhawatiran serius tentang kemungkinan berkembangnya resistensi, maka Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan agar obat-obatan artemisinin sebaiknya digunakan bersama dengan antimalaria lain yang efektif. Therapi kombinasi berbasis-artisinin semakin banyak digunakan di wilayah Afrika dimana chloroquine telah kehilangan efektivitas dan resistensinya terhadap sulfadoxine-pyrimethamine yang sedang muncul. Sejauh ini, tidak ada laporan resistensi klinis pada obat-obatan artemisinin.
            Tanaman obat A. annua yang tumbuh dengan cepat bisa dibudidayakan dengan relatif mudah di negara-negara miskin. Kandungan artemisinin A. annua L. liar telah dideskripsi bervariasi antara 0.02% dan 1.1% bobot kering, bergantung pada sumber tanaman dan kondisi pembudidayaan. Hasil 1.4% bobot kering bisa didapat dari cangkokan yang disebut Artemis yang telah dikembangkan untuk produksi artemisinin komersial. Pharmacopoeia Republik Rakyat China sekarang ini secara resmi mendaftar tanaman obat kering A. annua sebagai obat untuk demam dan malaria. Dosis harian ditetapkan sebesar 4.5 sampai 9 gram tanaman kering yang dikerjakan sebagai infus teh dengan air mendidih. Artemisinin sendiri tidak mudah terlarut dalam air tetapi bisa dilarutkan jika ada konstituen-konstituen tanaman lain dengan sifat-sifat amphiphilic (misal, flavonoid atau saponin). Walau demikian, tidak diteliti apakah konsentrasi plasma artemisinin yang relevan secara klinis dapat dicapai dengan mengambil preparat-preparat tradisional semacam itu. Karena itu, kami telah menjalankan percobaan klinis terbuka tidak-teracak pada sukarelawan-sukarelawan laki-laki untuk menentukan konsentrasi plasma artemisinin setelah pemakaian oral preparat A. annua L. yang mengandung air. Kami juga menentukan konsentrasi artemisinin pada bahan tanaman yang dikeringkan dan pada preparat teh herbal.
MATERI DAN METODA
            Materi tanaman dan zat kimia. Artemisia annua L. Cv. Artemis, adalah cangkok yang dikembangkan oleh Mediplant (Conthey, Swiss), yang disebarkan secara vegetatif dan dibudidayakan di kebun tanaman obat Institut Obat-obatan Universitas Tubingen. Bagian-bagian tanaman berbentuk gas dipanen dengan segera sebelum berbunga dan dikeringkan-udara pada suhu sekitar. Daun-daun yang dikeringkan diangkat dari batang dan diayak (ukuran ayak = 5 mm). Materi ini digunakan di sepanjang penelitian ini. Artemisinin otentik didapat dari Sigma-Aldrich (Taufkirchen, Jerman).
            Penentuan kandungan artemisinin pada materi tanaman. Ekstraksi (pengambilan sari) artemisinin dari materi tanaman yang dikeringkan dijalankan dengan menggunakan metoda yang dimodifikasi dari Zhao dan Zeng. Satu gram materi tanaman kering yang dijadikan tepung diekstraksi (diambil sarinya) dengan 100 mL petrol ether pada suhu 60-90oC selama tiga jam dalam peralatan soxhlet (Fisher Scientific Schwerte, Jerman). Pelarut ini diuapkan, dan residu dicairkan dalam 10.0 mL ethanol dan dianalisa dengan chromatofragi cair berperformance-tinggi (HPLC) seperti yang diuraikan oleh Zhao. Ekstraksi dengan ethyl acetate dan bukan petrol ether ini memberi hasil-hasil yang sama.
            Preparasi teh dan ekstraksi artemisinin dari teh. Untuk setiap metoda praparasi, 1.0 liter air disaring mendidih ditambahkan ke lima atau sembilan gram herbal kering. Dengan metoda A, campuran dibiarkan sampai dingin dengan suhu kamar sebelum materi tanaman diangkat dengan penyaringan. Pada metoda B, campuran dididihkan selama 30 menit, teh didinginkan dengan suhu kamar, dan berikutnya materi tanaman diangkat dengan penyaringan. Pada metoda c, setelah menambahkan air mendidih, campuran dengan cepat diaduk dan container atau wadah ditutup selama 10 menit. Berikutnya, materi tanaman diangkat dengan penyaringan dan diremas dengan lembut untuk melepas air yang tersisa. Teh dibiarkan menjadi dingin pada suhu kamar. Untuk deteksi artemisinin, 200 mL dari setiap teh herbal diekstraksi dua kali dengan 200 mL petrol ether pada suhu 60-90oC. Fase organik dikeringkan dengan sodium sulfate, larutan ini diuapkan, dan residunya dilarutkan dalam 10.0 mL ethanol.
            Subyek. Sukarelawan-sukarelawan pria sehat direkrut melalui iklan dari mahasiswa dan staf Universitas Tubingen. Kriteria pemasukan adalah usia antara 18 dan 35 tahun dan hasil pemeriksaan fisik, electrocardiogram, dan parameter-parameter laboratorium rutin tanpa abnormalitas bermakna secara klinis. Kriteria tidak dimasukkan adalah setiap obat yang diminum dalam tujuh hari sebelum penelitian dan merokok. Protokol studi ditinjau dan disetujui oleh Komite Etika Rumahsakit Universitas Tubingen dan setiap subyek memberikan persetujuan terinformasikan tertulis. Kejadian-kejadian merugikan dipantau sepanjang masa penelitian.
            Desain studi. Studi center-tunggal, terbuka dijalankan dengan memasukkan 14 subyek Kaukasia. Setelah berpuasa semalam dan makan pagi ringan dibakukan, para subyek menerima satu liter teh A. annua yang dipreparasi baru saja secara oral (9 gram herbal/liter, kandungan artemisinin = 94.5 mg/liter) dibagi menjadi lima dosis 200 mL. Setiap dosis diminum lewat masa tiga-menit sehingga jumlah teh yang diminum diselesaikan dalam 15 menit. Semua subyek mendapatkan makanan ringan dan makan yang sama dengan waktu-waktu sela setelah pemberian dosis yang ditentukan.
            Preparat sampel plasma. Sampel-sampel darah (18 mL) diminum sebelum dan 0.5, 1, 2, 3, 4, dan 8 jam setelah memulai pengobatan dengan teh A. annua menggunakan monovettes EDTA (Sarstedt, Numbrecht, Jerman). Kandungan monovette dicampur dengan lembut dan sampel-sampel disentrifugasi dengan segera pada 2.800 x g pada suhu 4oC selama lima menit. Plasma dipisahkan dari sel-sel dan disimpan pada suhu -20oC.
            Ekstraksi artemisinin dari plasma. Ekstraksi dijalankan dengan menggunakan metoda dimodifikasi dari metoda Titulaer dan kawan-kawan. Satu mililiter plasma diekstraksi dua kali dengan 800 mL heptane. Pemisahan fase-fase difasilitasi dengan sentrifugasi. Fase-fase organik dikombinasikan dan pelarut diuapkan. Residu dilarutkan dalam 100 mL ethanol.
            Deteksi artemisinin dengan HPLC. Metoda ini didasarkan pada metoda Edlund dan kawan-kawan. Delapanpuluh mikroliter larutan mengandung ethanol didapat dari ekstraksi plasma, teh, o, materi herbal kering dipisahkan pada kolom RP-18 5mm Multophere 250 x 4.6 mm (Chromatography Service, Langenwehe, Jerman). Gradien linear dari 45-100% acetonitrile dalam air (20 menit, 1 mL/menit) digunakan. Untuk derivatisasi post-kolom on-line, 0.3 M KOH mengandung air ditambahkan untuk mengevaluasi pada tingkatan 0.2 mL/menit. Campuran yang dihasilkan dilewatkan melalui kapiler baja 5-meter (0.5 mm diameter internal) yang direndam di dalam kolam air pada suhu 70oC. Penyerapan ultraviolet dipantau pada 289 nm.
            Analisis data farmakokinetika. Profil-profil waktu-konsentrasi artemisinin plasma dianalisa untuk setiap subyek menggunakan metoda-metoda non-kompartemental. Konsentrasi puncak pada plasma (Cmaks) dan waktu untuk Cmaks (tmaks) diturunkan secara langsung dari data orisinil. Konstan tingkat eliminasi, k, dihitung dengan analisis regresi linear menggunakan empat atau lima poin kurva waktu-konsentrasi plasma log terakhir. Eliminasi separuh-kehidupan (t½) dihitung dengan persamaan t½ = ln/k. Area di bawah kurva waktu-konsentrasi plasma (AUC) dengan konsentrasi terakhir yang dapat diukur (AUC0-t) dihitung menggunakan trapezoidal dengan program komputer GraphPad Prisma versi 2 (GraphPad Software, Inc. San Diego, Kalifornia). Total area di bawah kurva waktu-konsentrasi plasma (AUC0-w) didapat dengan menambahkan AUCo-t dan AUCt-w. AUCt-w diekstrapolasi dengan membagi konsentrasi darah dapat diukur terakhir dengan k. Area yang diekstrapolasi AUCt-w lebih kecil dari 10% AUCo-w.
HASIL-HASIL
            Kandungan artemisinin pada Artemisia annua L. yang dibudidayakan. Kandungan artemisinin bahan tanaman A. annua L. Artemis yang dikeringkan ditentukan sebagai 1.39% dengan menggunakan ekstraksi dengan petrol ether dan derivatisasi pre-kolom yang dideskripsi oleh Zhao dan Zeng. Hasil-hasil sama didapat dengan menggunakan derivatisasi post-kolom.
            Konsentrasi artemisinin pada preparat teh A. annua L. Tiga metoda preparat teh berbeda digunakan untuk menentukan metoda ekstraksi paling efisien. Hasil-hasil ditampakkan pada Tabel 1. sampai 86% dari total artemisinin bisa diekstraksi dari bahan tanaman yang dikeringkan dengan air mendidih. Air mendidih diperlama (30 menit) sangat menurunkan hasil, diduga karena labilitas kimia artemisinin yang dikenal. Metoda paling efisien preparat teh (metoda C) menghasilkan 94.5 mg artemisinin dalam satu liter teh yang dipreparasi dari sembilan gram daun-daunan. Preparat teh ini digunakan dalam studi pharlacokinetika berikutnya. Jumlah ini sesuai hanya untuk 19% dari dosis artemisinin harian biasa pada orang-orang dewasa. Walau demikian, bioavailabilitas artemisinin dari preparasi-praparasi yang ada sekarang ini buruk, dan jelas kemungkinan yang ada bahwa bioavailabilitas bisa jadi lebih tinggi dari preparat teh.
            Perkembangan metoda HPLC untuk deteksi artemisinin pada plasma. Metoda paling baik ditetapkan dan paling luas digunakan untuk penentuan artemisinin pada studi-studi pharmacokinetika adalah pemisahan dengan HPLC diikuti dengan derivatisasi post-kolom dengan KOH mengandung air dan deteksi dengan penyerapan UV. Karena itu kami mengadopsi metoda ini dengan menggunakan ekstraksi heptane plasma. Prosedur analisis divalidasi dalam laboratorium kami dengan sampel-sampel plasma manusia untuk mana kuantitas-kuantitas berbeda artemisinin otentik ditambahkan. Batas deteksi kira-kira 5 ng/mL plasma, yang sama dengan hasil dari studi-studi sebelumnya. Linearitas dipertegas antara 10 dan 500 ng/mL (e2 = 0.985). Pada 30 ng/mL, koefisien variasnya 9.9% (100 ng/mL = 5.3%, 300 ng/mL = 4.1%).
            Kadar plasma artemisinin setelah pemakaian oral teh yang dipreparasi dari A. annua. Empatbelas sukarelawan Kaukasia direkrut ke dalam studi (rata-rata usia = 28 tahun, tingkatan = 8-31 tahun; rata-rata berat badan = 75 kg, tingkatan = 62-91 kg). Para subyek menerima satu liter teh A. annua secara oral yang  baru saja dikerjakan (kandungan artemisinin = 94.5 mg); jumlah dosis lengkap yang diperlukan rata-rata 15.4 menit (tingkatan = 10-24 menit). Sampel darah diambil sebelum dan 0.5, 1, 2, 3, 4, dan 8 jam setelah memulai pengobatan dan konsentrasi artemisinin plasma ditentukan. Hasil-hasil individual untuk setiap subyek ditampakkan pada Tabel 2, dan rata-rata kurva waktu-konsentrasi plasma untuk 14 subyek ditampakkan pada Gambar 1. Artemisinin diserap sangat cepat, dan maksimal konsentrasi plasma diamati 30 menit setelah pengobatan dimulai (Cmaks = 240 ng/mL, SD = 75 ng/mL). Sebagai perbandingan, delapan penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pemakaian oral 500 mg artemisinin murni dalam bentuk kapsul menghasilkan rata-rata Cmaks 531 ng/mL. Cmaks dicapai pada rata-rata 2.3 jam setelah pemakaian. Penelitian lain yang menggunakan dosis oral 100 mg artemisinin dalam bentuk kapsul-kapsul menunjukkan rata-rata konsentrasi puncak 162 ng/mL dicapai 2.4 jam setelah pemakaian. Obat teh pada penelitian kali ini (94.5 mg artemisinin) menghasilkan AUC artemisin di dalam plasma 336 ng/mL x jam (SD = 71 ng/mL (tingkatan = 1.373-2.611 ng/mL x jam) dilaporkan pada penelitian-penelitian dengan menggunakan 500 mg artemisinin dalam bentuk kapsul. Karena itu, ketersediaan-hayati artemisinin dari preparat teh sangat mirip dengan ketersediaan-hayati dari artemisinin pada kapsul. Eliminasi separuh-kehidupan artemisin dalam penelitian kami adalah 0.87 jam (SD = 0.23 jam), sama dengan hasil-hasil sebelumnya. Obat dalam penelitian ini ditoleransi dengan baik oleh para subyek. Seorang subyek mengembangkan tanda dan gejala reaksi alergis, termasuk ruam-ruam kulit dan batuk, tak lama setelah meminum teh herbal. Gejala-gejala ini sembuh dengan cepat tanpa memerlukan obat. Tidak ada kejadian merugikan lain yang diamati.
PEMBAHASAN
            Penelitian kali ini meneliti prepasasi-preparasi teh dari tanaman obat tradisional China A. annua L. Sedikit yang tidak diperkirakan, sebagian besar dari artemisinin yang berisi dalam daun-daun A. annua kering bisa diekstraksi dengan air mendidih. Meskipun daya larut agen-agen lipophilic dari konstituen-konstituen tanaman lain merupakan fenomena yang dikenal baik, ini merupakan contoh sangat mengejutkan untuk efek semacam ini. Preparat teh, yang didasarkan pada rekomendasi-rekomendasi dosis pharmacopoeia Republik Rakyat China sekarang ini, berisi total jumlah 94.5 mg artemisinin dalam satu liter teh. Ini rendah dalam perbandingan untuk 500 mg artemisinin yang umum digunakan sebagai dosis harian artemisinin untuk orang-orang dewasa dalam bentuk tablet atau kapsul. Data kami menunjukkan bahwa artemisinin diserap lebih cepat dari preparat teh daripada dari kapsul. Kami temukan konsentrasi puncak dari 240 ng/mL setelah jumlah pemakaian teh herbal, yaitu kira-kira 40% dari konsentrasi puncak yang dilaporkan setelah jumlah pemakaian 500 mg artemisinin dalam bentuk kapsul. AUC yang ditemukan dalam penelitian sekarang ini hanya 16% dari rata-rata AUC dilaporkan setelah jumlah pemakaian 500 mg artemisinin dalam bentuk kapsul, yang merefleksikan dosis lebih rendah yang dimasukkan ke dalam teh (19% dari dosis kapsul). Jadi, ketersediaan-hayati artemisinin dari preparat teh herbal sama dengan ketersediaan-hayati artemisinin dari kapsul. Beberapa data tersedia untuk dosis minimal (atau minimal konsentrasi plasma) artemisinin yang diperlukan untuk kemanjuran klinis pada pengobatan malaria. Minimal konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan Plasmodium falciparum in vitro telah dinilai pada 9 ng/mL. Konsentrasi plasma artemisinin yang dicapai dalam penelitian kali ini jelas melebihi nilai ini untuk paling sedikit empat jam dalam aturan pemberian dosis kali ini. Artemisinin dan dihydroartemisinin dikenal sangat berakumulasi dalam erythrocyte yang terinfeksi, dan hubungan nyata antara kedua konsentrasi dalam plasma dan dalam arythrocyte ini belum diketahui. Konsentrasi plasma ditemukan pada penelitian kali tampaknya cukup untuk menjelaskan hambatan pertumbuhan P. falciparum dan efek klinis memungkinan preparat-preparat A. annua tradisional yang digunakan pada jaman China kuno dan modern. Walau demikian, konsentrasi-konsentrasi plasma sangat lebih rendah dari konsentrasi yang dicapai oleh preparat-preparat artemisinin modern. Karena itu, penelitian kami menunjukkan bahwa preparat teh tidak sama dengan obat-obatan artemisinin modern. Ini dipertegas dengan percobaan klinis sekarang ini dengan preparat teh A. annua yang sama pada pasien-pasien malaria, yang menunjukkan penurunan cepat perbaikan klinis dan parasitemia selama therapi, tetapi tingkat rekrudesensi tinggi tidak dapat diterima setelah dihentikannya pengobatan. Monotherapi dengan preparat teh dari A. annua karenanya tidak direkomendasikan sebagai opsi pengobatan malaria juga karena kekhawatiran tentang perkembangan resistensi mungkin terhadap artemisinin.
PEMBERIAN RESEP AMINOGLIKOSIDA DAN PENGAWASAN CYSTIC FIBROSIS

Divisi Akademis Kesehatan Anak, dan divisi Ilmu Kedokteran Pernafasan, Universitas Nottingham, dan Departemen Penyakit Anak, rumahsakit Nottingham City, Nottingham, Inggris Raya
Kata kunci: cystic fibrosis; antibiotika aminoglikosida, ototoksisitas, nefrotoksisitas
Potensial antibiotika aminoglikosida yang menyebabkan ototoksik dan kerusakan nefrototoksik pertama kali ditemukan tahun 1945, selama percobaan-percobaan klinis awal streptomycin. Disamping pengenalan kelas-kelas baru antibiotika, amunoglikosida terus banyak diberikan di klinis-klinik cystic fibrosis (CF) dan kemungkinkan obat ini tetap mempertahankan peran pentingnya dalam penanganan penyakit paru CF untuk masa datang yang dapat diramalkan. Agen yang sangat aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa ini memperlihatkan sinergisme dengan antibiotik b-lactam dan secara efektif mempenetrasi ludah pasien dengan CF.
            Pasien dengan CF sekarang dapat diperkirakan hidup sampai dekade keempat dan lebih, dengan pendidikan penuh waktu diikuti dengan tenaga kerja dan gaya hidup aktif menjadi sasaran yang dapat ditahan. Karena itu, peran klinisi CF saat memberikan resep perjalanan obat-obatan toksik potensial berulang adalah untuk memastikan kemanjuran optimal dengan minimal toksisitas kumulatif. Petunjuk tentang bagaimana harus memberikan aminoglikosida secara efektif dapat memperkecil resiko mengembangkan toksisitas diperlukan.
            Masih ada kontroversi di seputar prevalensi, kepentingan, dan peran pengawasan toksisitas yang ditimbulkan aminoglikosida pada CF. Tidak ada penelitian besar pasien-pasien yang naive-aminoglikosida dengan CF untuk menjernihkan isu-isu ini, dan bukti dari para pasien tanpa CF kemungkinan tidak dapat dijalankan secara langsung. Pernyataan-pernyataan konsensus sekarang ini dihasilkan oleh UK CF Perlindungan dan Komite Konsensus Therapi Antibiotika Eropa dan CF tidak membuat referensi untuk wilayah screening yang kontroverisal untuk toksisitas ditimbulkan aminoglikosida. Yayasan CF Amerika Utara merekomendasikan agar analisis urine, nitrogen urea darah dan kreatinin sebaiknya diukur setelah masing-masing perjalanan pemberian obat intravena, dan audiologi sebaiknya dijalankan setiap dua sampai empat perjalanan aminoglikosida intravena, meskipun bukti pada mana rekomendasi-rekomendasi ini didasarkan tidak jelas. Perspektif paru-paru akan meninjau literatur yang ada di sekitar pemberian resep dan pemantauan aminoglikosida dan mengedepankan saran-saran yang berhubungan dengan praktek klinis yang baik.

PEMBERIAN RESEP AMINOGLIKOSIDA PADA CF
Farmakokinetika aminoglikosida pada CF
Aminoglikosida adalah molekul-molekul kationik sangat polar yang relatif tak dapat larut lipid dan sangat dapat terlarut air. Jika diberikan intravena, agen ini terdistribusi hampir seluruhnya ke massa kurus tubuh dari mana 70% adalah air tubuh dan sisanya otot. Setelah pemberian intravena, aminoglikosida terdistribusi dengan cepat ke seluruh kompartemen cair ekstrasel, dengan puncak kadar serum dicapai dalam 30 menit pada akhir infus 30-menit.
            Pasien dengan CF secara khusus diberi resep dosis tinggi perjalanan antibiotika intravena diperpanjang berdasarkan laporan-laporan farmakokinetika diubah dan karena sifat dan keparahan penyakit CF. Volume distribusi dan tingkat penjernihan aminoglikosida ditingkatkan, dengan separuh-kehidupan tobramycin antara 2 dan 3 jam. Aminoglikosida menjalani pengikatan protein minimal dan dieliminasi hampir sepenuhnya dengan penyaringan glomerular.

Dosis Permulaan
Dosis permulaan aminoglikosida secara tradisional dihitung dari area permukaan tubuh (60-75 mg/m2/dosis), berat badan (3.3-5 mg/kg/dosis) atau dari catatan dosis-dosis sebelumnya yang mencapai level pengobatan. Dalam praktek kami, maksimal total dosis harian yang diberikan resepnya adalah 660 mg dengan tiga dosis terbagi. Meskipun teknik-teknik terarah klinis ini hanya memerlukan penghitungan sederhana, namun metoda-metoda ini menghasilkan konsentrasi serum puncak sangat bervariasi. Pendekatan-pendekatan dengan menggunakan model-model populasi, yang memperhitungkan fungsi ginjal, dilaporkan sebagai sangat baik.

Frekuensi Dosis dan Pemantauan
Aminoglikosida paling umum diresepkan tiga kali sehari, dengan konsentrasi serum puncak dan tampungan yang dipantau untuk mempertegas kadar-kadar serum ada di dalam tingkatan pengobatan dan non toksik, masing-masing. Kadar serum puncak optimal untuk tobramycin atau gentamicin biasanya dianggap pada 8 sampai 12 mg/L 30 menit setelah penyelesaian infus intravena dan < 1 mg/L selama tampungan. Praktek kami ditunjukkan untuk kadar-kadar puncak yang lebih dekat dengan batas atas 12 mg/L sebagai model-model laboratorium infeksi sputum (air liur) P. aeruginosa menyatakan bahwa kadar puncak tobramycin lebih tinggi mencapai pembunuhan bakterial lebih efektif.
            Meskipun kenyamanan untuk pasien, kemanjuran dan keamanan pemberian dosis aminoglikosida sekali dan dua kali sehari tetapi belum terbukti pada CF. Walau demikian, pada pemberian dosis sekali sehari, kadar puncak 20-30 mg/L khususnya dicapai dengan kadar tampungan <1 mg/L. Strategi-strategi yang memaksimalisasi konsentrasi puncak dan memperkecil konsentrasi tampungan aminoglikosida dapat meningkatkan aktivitas bakterisidal dan menurunkan resiko nepfrotoksisitas dan ototoksisitas. Karena aminoglikosida memperlihatkan pembunuhan terikat konsentrasi, maka pencapaian rasio untuk kadar aminoglikosida puncak konsentrasi penghambat minimal sebagai kelebihan dari 8 dapat memberikan keberhasilan klinis yang meningkat. Selanjutnya, dengan meningkatkan interval antara dua dosis, orang dapat mengharapkan penurunan kadar aminoglikosida serum biasa, yang dengan demikian dapat menurunkan akumulasi dalam ginjal dan telinga dalam.
            Pemantauan obat terapetik aktif mengoptimalisasi dosis permulaan dan mengevaluasi parameter-parameter farmakokinetika individual berjalan untuk mempertahankan kadar aminoglikosida serum dalam tingkatan-tingkatan target. Teknik yang paling banyak digunakan adalah model Sawchuk-Zaske, meskipun softare farmakokinetik juga tersedia. Rasio konsentrasi penghambat minimal/konsentrasi aminoglikosida puncak bisa dimaksimalisasi yang akan diperkirakan dapat meningkatkan hasil klinis. Metoda-metoda ini juga dilaporkan dapat menurunkan waktu untuk mencapai kadar target aminoglikosida dan menghasilkan penurunan ongkos.

Menyesuaikan Dosis-dosis aminoglikosida pada Gagal Ginjal
Konsentrasi toksis aminoglikosida ini akan berkembang jika dosis tidak disesuaikan dengan kegagalan ginjal. Penghindaran penggunaan minoglikosida merupakan opsi jarang, karena munculnya keturunan-keturunan resisten P. aeruginosa yang memaksakan penggunaannya. Formulasi matematis atau nomogram telah digunakan selama bertahun-tahun untuk menyesuaikan aturan pemberian dosis aminoglikosida, dengan memperhiutngkan fungsi ginjal, yaitu separuh kehidupan gentamicin bisa dinilai sebagai fungsi dari konsentrasi kreatinin serum (mg/100 ml) dikalikan dengan faktor empat. Walau demikian, formula ini secara orisinil dihitung dari pasien tanpa CF.

TOKSISITAS AMINOGLIKOSIDA PADA CE
Nefrotoksisitas
Nefrotoksisitas diakibatkan oleh proporsi dosis yang diberikan kecil tetapi bisa diukur dalam mempertahankan sel-sel epithelial tubula proksimal. Ikatan aminoglikosida brush membran-membran batas, dimana membran diendositasi dan diakumulasi dengan phospholipid di dalam lytosome sel tubular. Meningkatnya akumulasi aminoglikosida mengakibatkan perubahan terbalik fungsi sel dan utamanya necrosis sel. Toksisitas berlanjut dicirikan dengan meningkatnya ekskresi elektrolit seperti magnesium, kalium dan kalsium. Akhirnya, gagal ginjal dicirikan dengan uremia dan konsentrasi kreatinin serum yang tinggi. Dalam praktek klinis, ini mempresentasikan kegagalan ginjal non oligurik dengan penurunan tingkat penyaringan glomerular. Perkembangan ke gagal ginjal oligurik atau anurik jarang, dengan kesembuhan dan dihentikannya aminoglikosida yang merupakan hasil paling umum.
Seberapa Umum Nefrotoksisitas ditimbulkan aminoglikosida pada CF?
            Penilaian akurat prevalensi kondisi ini sulit ditegaskan, karena banyak literatur tentang CF terbatas pada perbandingan-perbandingan aturan pemberian dosis dan laporan-laporan kasus. Selanjutnya, prevalensi kerusakan ginjal akan bergantung pada penanda-penanda fungsi ginjal yang diiukur dan kriteria yang digunakan untuk menentukan nefrotoksisitas. Walau demikian, gagal ginjal dicirikan dengan meningkatnya konsentrasi urea dan kreatinin yang tampaknya merupakan komplikasi jarang pada terapi aminoglikosida pada penderita CF. Sebagai perbandingan, nefrotoksisitas telah dinilai dapat mempengaruhi 10 sampai 20% perjalanan pengobatan dengan aminoglikosida dalam populasi tanpa CF.
            Para klinisi umumnya menggunakan serum kreatinin, urea dan konsentrasi elektrolit sebagai ukuran paling praktis fungsi ginjal. Sayangnya tidak satupun dari penanda berguna kerusakan ginjal awal ini. Misalnya, definisi khas nefrotoksisitas termasuk meningkatnya serum kreatinin dari > 40 mmol/L (o.4mg/dL) atau meningkatnya konsentrasi serum kreatinin dari >50% dari baseline. Walau demikian, konsentrasi serum kreatinin bisa tetap dalam tingkatan normal bahkan dengan adanya 50% penurunan pada tingkat penyaringan glomerular. Selain itu, metabolisme protein, keadaan hidrasi, dan penggunaan steroid mempengaruhi konsentrasi urea darah. Jadi, pasien yang sangat kurang nutrisi dengan CF bisa memiliki konsentrasi urea darah relatif normal dengan adanya kerusakan ginjal signifikan. Meningkatnya kehilangan potasium, kalsium, dan kalium yang meningkat, yang merefleksikan disfungsi tubular, akan mendahului meningkatnya kadar kreatinin dan urea. Hipomagnasemia pada penderita CF yang menerima aminoglikosida terdokumentasikan dengan baik, tetapi bisa menjadi multifaktorial sebagai sumbernya, dengan malnutrisi, malabsorpsi, diabetes dan hiperaldosteronisme sekunder yang menjadi faktor-faktor penyumbang. Saat ini, penanda fungsi tubular proksimal, seperti N-acetyl-b-O-glucosaminidasae (NAG, enzim lyposomal) telah dinyatakan sebagai penanda awal toksisitas tubular ditimbulkan aminoglikosida. Tubulus proksimal di lokasi primer kerusakan aminoglikosida, dan kadar protein-protein ini yang sangat meningkat bisa ditemukan pada urin setelah pemberian aminoglikosida intravena. Walau demikian, implikasi klinis protein pipa (tubula) proksimal yang meningkat tetap tidak jelas, dan pengukurannya tetap menjadi alat riset paling utama.

Bagaimana Menilai Fungsi Ginjal pada CF
Tes standar emas untuk menilai fungsi ginjal adalah tingkat penyaringan glomerular (tingkatan normal, 80-120 ml/menit), pemeriksaan benar-benar teliti yang melibatkan pemberian isotop-isotop berlabel radio. Penilaian fungsi ginjal yang lebih praktis adalah penjernihan kreatinin, yang mengukur kemampuan ginjal dalam membersihkan kreatinin dari sirkulasi ke dalam urin lewat 24 jam. Namun demikian, tingkat penjernihan kreatinin sebaiknya ditafsirkan untuk pasien-pasien CF individual karena konsentrasi kreatinin serum dipengaruhi oleh masaa otot, yang bisa menurun pada CF. Formula Cockroft-Gault dimodifikasi (dihitung setelah penyerapan 2.4 g Cimetidine), menghitung penjernihan kreatinin, memperbaiki usia, massa tubuh, dan konsentrasi kreatinin serum.

OTOTOKSISITAS
Dikenal dengan baik bahwa penggunaan antibiotika aminoglikosida membawa risiko toksisitas vestibular dan pendengaran. Sel-sel indra cochlea terbagi menjadi sel-sel rambut luar dan dalam. Pola khas kehilangan pendengaran berfrekuensi tinggi ditimbulkan aminoglikosida diakibatkan oleh hilangnya fungsi sel-sel rambut luar secara progresif dengan sel-sel rambut dalam. Mekanisme ini melibatkan penetrasi endolympha, pemakaian aktif ke dalam sel-sel rambut, penyimpanan dan akhirnya pembangkitan radikal-radikal bebas yang merusak. Jika sistem-sistem detoksikan pada sel-sel rambut tidak cukup menangani tantangan ini, maka kematian sel apoptotik dihasilkan. Model-model eksperimental menyatakan bahwa separuh kehidupan aminoglikosida pada sel-sel rambut dapat diukur berbulan-bulan. Jika interval antara dua perjalanan aminoglikosida berulang lebih kecil dari separuh kehidupan ini, maka akumulasi aminoglikosida pada sel-sel rambut telinga dalam akan terjadi.
Seberapa Umum Kehilangan Pendengaran Ditimbulkan aminoglikosida pada CF?
Mulheran dan teman-teman kerjanya telah melaporkan prevalensi kehilangan pendengaran pada pasien dengan CF, dengan menggunakan protokol-protokol yang dikenal untuk testing audiometriks. Prevalensi kehilangan pendengaran pada 70 pasien muda (10-18 tahun, n = 27) dan dewasa (18-37 tahun, n = 43) dengan CF menggunakan audiometri nada murni frekuensi tinggi dan standar adalah 17%. Prevalensi kehilangan pendengaran pada populasi anak biasanya dilaporkan lebih rendah (0-6%) yang dapat merefleksikan paparan aminoglikosida lebih kecil dan kerusakan lingkungan lebih kecil.
            Sebagai perbandingan, beberapa studi telah meneliti prevalensi toksisitas aminoglikosida pada pasien tanpa CF dengan taksiran kehilangan pendengaran 20% dan disfungsi keseimbangan 15%. Mulheran dan teman-teman kerjanya mendeskripsi penilaian resiko perjalanan untuk berkembangnya ototoksisitas setelah perjalanan antibiotika aminoglikosida; 7.5% pada populasi tanpa CF dibandingkan dengan kurang dari 2% pada pasien dengan CF. Perbedaan dalam resiko ini kemungkinan menyatakan bahwa pasien-pasien ini dengan pasien-pasien CF kurang mungkin mengembangkan kehilangan pendengaran dari perjalanan aminoglikosida daripada pasangan mereka tanpa CF, yang memunculkan kemungkinan bahwa pasien dengan CF bisa terlindung dari potensial toksik antibiotika aminoglikosida.

Menentukan Ototoksisitas
Kehilangan pendengaran awal didefinisikan sebagai peningkatan ambang pada suatu frekuensi sampai 25dB GL, untuk semua tingkatan frekuensi 250-8.000 Hz. Aminoglikosida secara khusus memproduksi pola berfrekuensi tinggi, penaikan ambang yang tak dapat dibalikkan, yang berkembang ke frekuensi tuturan dengan paparan berlanjut. Banyak pasien yang barangkali tidak menyadari penaikan ambang berfrekuensi tinggi, karena kemungkinan tidak mempresentasikan kesulitan bermakna pada tuturan percakapan. Deteksi awal tingkat kerusakan kecil bisa memungkinkan prediksi dan prevensi kehilangan pendengaran yang bermakna secara klinis.
            Vestibulotoksisitas dalam hubungannya dengan infus aminoglikosida umumnya disebut sebagai ”rasa pusing berputar-putar”. Gejala ini sering sulit ditentukan, tetapi secara khas menunjuk pada vertigo berputar yang dihubungkan dengan sensasi rasa pusing, pengeluaran keringat, muntah dan pucat yang tidak menyenangkan yang menyertai stimulasi vestibular berlebihan. Untunglah, disfungsi vestibular tak dapat dibalikkan tampaknya menjadi efek samping aminoglikosida yang tidak biasa, meskipun laporan-laporan anekdot pasien yang mengalami ’rasa pusing berputar-putar’ sementara dan dapat dibalikkan dikenal dengan baik. Masalah ini sering tidak dapat diprediksi, meskipun sering menjelaskan hubungan dengan dosis tinggi (15 mg/kg/dosis), infus cepat aminoglikosida, paparan terhadap netilmicin, penggunaan berulang obat-obatan nefrotoksik, atau obat-obatan yang sebelumnya telah menyebabkan pusing berputar-putar.

Menurunkan Risiko Berkembangnya Toksisitas
Faktor-faktor risiko untuk nefrotoksisitas ditimbulkan aminoglikosida dan ototoksisitas pada umumnya sama. Strategi untuk menurunkan risiko berkembangnya toksisitas adalah paparan kumulatif terhadap aminoglikosida. Ada hubungan nonlinear antara paparan aminoglikosida kumulatif dengan berkembangnya toksisitas, yang kemungkinan bisa diperburuk dengan separuh kehidupan aminoglikosida diperpanjang dalam sel-sel target.
            Aminoglikosida tetap menjati pengobatan antibakterial penting dalam penanganan penyakit paru CF. Karena itu, rekomendasi untuk menghentikan penggunaannya ketika ambang paparan kumulatif telah dicapai tidak akan sangat membantu. Walau demikian, jika pasien menerima pengobatan antibiotika intravena lebih sering (setiap 2 bulan), maka klinisi akan mempertimbangkan penggunaan perjalanan aminoglikosida secara berselang-seling. Dengan meningkatkan interval atau waktu selang antara dua paparan aminoglikosida, dimana diindikasikan secara klinis, maka penjernihan aminoglikosida dari perjalanan sebelumnya barangkali tidak mungkin.

Memilih Aminoglikosida Kurang Toksik
Aminoglikosida bisa diberi peringkat dengan urutan toksisitas menurun: neomycin > amikacin > gentamicin = tobramycin > netilmycin. Perbedaan pada potensial nefrotoksik dihubungkan dengan meningkatnya kemampuan mengikat membran-membran batas pipa sikat ginjal. Studi-studi eksperimental dan klinis telah menunjukkan bahwa resiko relatif berkembangnya toksisitas pendengaran dari gentamicin dan tobramycin biasanya dianggap sama.

Menghindari Penggunaan Berulang Obat-obatan Mengandung Toksik Lain
Beberapa obat lain yang digunakan dalam perawatan CF memiliki potensial nefrotoksik dan ototoksik. Ototoksisitas yang diakibatkan penggunaan berulang diuretika dengan aminoglikosida dideskripsi dengan baik dan sebaiknya dihindari apabila mungin. Kegagalan ginjal sementara yang dihubungkan dengan penggunaan ibuprofen dan aminoglikosida, interstitial nephritis yang dihubungkan dengan penggunaan ceftazidime dan colistin atau vancomycin intravena yang digunakan bersama dengan aminoglikosida semuanya telah dilaporkan dapat meningkatkan resiko nefrotoksisitas.
            Sayangnya, karena meningkatnya prevalensi species P. aeruginosa yang resisten, kombinasi antibiotika yang secara potensial mengandung toksik yang tidak dapat dihindarkan banyak digunakan dalam praktek klinis. Ditingkatkannya pengawasan kemungkinan akan membantu menurunkan risiko efek-efek samping ini.

Pemberian Dosis aminoglikosida Interval Diperpanjang
Beberapa meta-analisis terpisah yang menyelidiki hubungan antara interval pemberian dosis dan toksisitas pada pasien tanpa CF melaporkan bahwa pemberian dosis aminoglikosida interval diperpanjang memiliki potensial kurang toksik daripada aturan pemberian tiga kali sehari standar. Dalam pemberian dosis harian tiga kali, akumulasi aminoglikosida dapat jenuh dalam sel-sel ginjal target dan telinga dalam bisa terjadi.  Pada pipa-pipa proksimal ginjal, akumulasi aminoglikosida melambat ketika konsentrasi serum mencapai 10-15 mg/L. Meskipun pemberian dosis sekali sehari akan menghasilkan kadar puncak dalam kelebihan dari tingkatan ini, namun juga kan meningkatkan waktu yang tersedia bagi sel-sel target untuk menjernihkan aminoglikosida di antara dua dosis.
            Walau demikian, situasi pada pasien dengan CF kemungkinan berbeda karena perbedaan dalam penanganan obat. Kajian sistematis kali ini tentang pemberian dosis sekali sehari pada pasien dengan CF menyimpulkan bahwa ada bukti tidak cukup yang merekomendasikan satu jadwal pemberian dosis atas jadwal pemberian dosis lain dalam hal kemanjuran dan toksisitas. Dari catatan, tidak satupun pasien dalam penelitian ini memperlihatkan nefrotoksisitas setelah pemberian dosis sekali atau tiga kali sehari. Ada dua percobaan multicentre sekarang ini di AS dan Inggris, yang dirancang untuk menjawab pertanyaan ini. Sampai saat ini, aturan pemberian dosis sehari tiga kali standard sebaiknya digunakan.

PERTIMBANGAN SPESIAL PADA CF
Menggunakan Aminoglikosida pada Kehamilan
Sejumlah kehamilan dilaporkan pada wanita-wanita penderita CF telah sangat meningkat lewat 10 tahun terakhir ini. Perencanaan kehamilan yang teliti dan hati-hati akan ideal, tetapi tidak selalu mungkin. Disarankan agar FEV1 >50% yang diprediksi dihubungkan dengan hasil membaik untuk bayi. Namun demikian, beberapa ibu akan memerlukan pengobatan antibiotika saat kehamilan, dan potensial teratogenik obat-obatan ini sebaiknya dipertimbangkan.
            Tobramycon melewati plasenta, mendistribusi ke sebagian besar jaringan janin, dan berkonsentrasi pada ginjal dan urin janin. Tidak ada laporan tentang teratogenisitas setelah penggunaan tobramycin pada manusia, meskipun tobramycin dosis tinggi (30-69 mg/kg/hari) telah dilaporkan dapat menyebabkan toksisitas ginjal pada tikus-tikus hamil dan janin mereka. Ototoksisitas tidak dilaporkan sebagai efek dari paparan in utero. Namun begitu, melihat risiko-risiko teoritis aminoglikosida, Layanan Informasi Teratologi Nasional Inggris menyarankan agar tobramycin sebaiknya hanya digunakan pada kehamilan jika manfaat potensialnya melebihi resiko potensialnya untuk janin. Secara meyakinkan, Bouget dan teman-teman kerjanya melaporkan tidak ada efek samping pada penggunaan sehari-sekali tobramycin (dan karena itu dosis tinggi) pada wanita hamil selama tri semester kedua dan ketiga.

Aminoglikosida Yang dimasukkan ke alat kabut
Banyak penderita CF menerima antibiotika aminoglikosida yang dimasukkan ke alat kabut sebagai tambahan atau terapi pemeliharaan, karena kadar tobramycin dengan 1.237 mcg/g sputum ( air liur ) bisa dicapai dengan menggunakan jalan ini. Kadar-kadar yang tinggi ini dipercaya dapat meningkatkan pembunuhan terikat konsentrasi. Aminoglikosida diserap secara sistematis dari sistem pernafasan, meskipun ketersediaan hayatinya dilaporkan rendah (11.7% dari dosis nominal). Ramsey dan kawan-kawannya meneliti pemberian tobramycin hirup pada CF yang digunakan secara berselang-seling. Nilai tengah kadar tobramycin 1 jam setelah pemberian dosis pertama adalah 0.94 mg/L yang merupakan nilai dari urutan besaran sama seperti kadar tampungan intravena. Nilai tengah kadar tobramycin serum adalah 0.98 mg/L pada Minggu 20. Mereka melaporkan tidak ada efek toksik pada fungsi ginjal atau pendengaran. Namun demikian, tes-tes pengawasan yang digunakan untuk mendeteksi toksisitas terbatas pada kepekaan. Selanjutnya, pasien yang menerima tobramycin intravena berulang tidak dimasukkan dari analisis toksisitas.
            Kajian sistematis pasien-pasien dengan Cf yang menerima aminoglikosida yang dimasukkan ke alat pembuat kabut juga menemukan tidak ada kasus efek merugikan. Namun demikian, tes-tes pengawasan yang digunakan sekali lagi tidak cukup sensitif untuk mendeteksi perubahan-perubahan subklinis pada fungsi pendengaran dan ginjal. Ring dan teman-teman kerjanya memperlihatkan peningkatan NAG uriner pada pasien CF yang menerima gentamicin yang dimasukkan ke alat pembuat kabut. Yang lebih bermana, mereka yang saat ini menjalani terapi gentamicin memperlihatkan korelasi positif antara aktivitas NAG uriner dengan dosis kumulatif gentamicin yang dimasukkan ke alat kabut. Kemungkinan bahwa paparan kumulatif selanjutnya akan mengakibatkan kerusakan ginjal lebih parah.
            Ada bukti tidak cukup mengenai toksisitas aminoglikosida yang dimasukkan ke alat kabut jangka panjang. Akumulasi aminoglikosida pada telinga dalam dan ginjal bisa terjadi, jika tidak ada massa-massa bebas-obat antara dua perjalanan terapi yang dimasukkan ke alat kabut. Ringkasan karakteristik-karakteristik produk untuk bentuk tobramycin yang dimasukkan ke alat kabut saat ini merekomendasikan pemberian 4 minggu diikuti dengan massa bebas-obat 4-minggu. Riset lebih banyak diperlukan untuk membimbing praktek klinis di area ini.    

PETUNJUK UNTUK PENGAWASAN AMINOGLIKOSIDA PADA CF
Nefrotoksisitas
Grup Antibiotika Trust CF Inggris mengenali bahwa pasien dengan CF dapat menerima perjalanan obat-obatan toksis potensial berulang seperti aminoglikosida dan merekomendasikan pemantauan teliti fungsi ginjal. Walau demikian, kelompok ini tidak menawarkan saran pada mana tes-tes akan dijalankan dan kapan, kecuali  bahwa selama terapi intravena air minum dan kadar puncak aminoglikosida sebaiknya diukur. Yayasan CF Amerika Utara merekomendasikan agar analisis urin, nitrogen urea darah dan kreatinin sebaiknya diukur setelah setiap perjalanan pemberian obat intravena. Dalam praktek klinis kami, fungsi ginjal dinilai pada permulaan dan selama minggu kedua pengobatan pada semua pasien dengan CF yang menerima aminoglikosida intravena. Serum magnesium, potassium, kalsium, kreatinin, dan konsentrasi urea, bersama dengan kadar puncak dan air minum aminoglikosida, sebaiknya juga diukur. Kadar air minum acak pada minggu kedua pengobatan akan mendeteksi akumulasi aminoglikosida. Semua tes sebaiknya ditafsirkan dengan hati-hati, karena memiliki kepekaan terbatas dan harus dinilai untuk setiap pasien individual. Penilaian detil dan lebih sering fungsi ginjal ( penjernihan kreatinin ) sebaiknya dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan faktor risiko tambah berkembangnya nefrotoksisitas.
Ototoksisitas
Akan tampak bijak jika menguji semua pasien yang mengeluhkan gejala penglihatan atau vestibular saat pengobatan. Selain itu, kami sebelumnya telah memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah perjalanan aminoglikosida yang diterima pada pasien dengan CF tanpa kehilangan pendengaran adalah 9, dan mereka yang kehilangan pendengaran 20 (p = 0.006). Karena itu, kami sarankan agar semua pasien yang telah menerima 10 atau lebih perjalanan aminoglikosida intravena sebaiknya juga menjalani penilaian audiometriks rutin. Audiogram nada murni standard (250-8.000 Hz) meskipun terbatas pada kepekaannya, namun siap dapat dinilai di kebanyakan pusat kesehatan dan sebaiknya dijalankan pada penilaian tahunan. Ini akan memberi penanda sangat berguna atas ada atau tidak adanya kehilangan pendengaran. Meskipun kehilangan pendengaran berfrekuensi tinggi mendahului kehilangan pendengaran untuk semua frekuensi tuturan, namun level testing ini hanya disediakan di pusat-pusat spesialis. Emisi Otoakustik Hasil Distorsi telah diajukan sebagai penanda awal fungsi sel rambut pada pasien yang secara kronis terpapar pada aminoglikosida. Sel-sel rambut di telinga dalam dipaksa untuk bergerak oleh stimuli akustik sampai terdistorsi dan menghasilkan energi yang dikenal sebagai Emisi Otoakustik Hasil Distorsi. Walau demikian, ini tetap menjadi alat eksperimental dan kegunaan belum sepenuhnya divalidasi sebagai alat screening untuk kehilangan pendengaran ditimbulkan aminoglikosida pada CF.

KESIMPULAN
Prognosis pasien dengan CF terus meningkat, sebagian karena penggunaan aturan pemberian antibiotika tepat waktu dan sangat kuat, yang seringkali memasukkan aminoglikosida. Antibiotika ini tetap menjadi pengobatan pilihan pada para pasien dengan CF yang secara kronis terinfeksi P. aeruginosa, sehingga paparan terhadap potensial roksik kumulatif obat-obatan ini akan berlanjut di masa datang yang dapat diramalkan.
            Pasien dengan CF tampaknya menangani perjalanan aminoglikosida berulang dengan baik, seperti prevalensi nefrotoksisitas dan ototoksisitas tampaknya rendah dibandingkan dengan populasi tanpa CF. Perlindungan ini bisa diakibatkan oleh penanganan farmakokinetika diubah dan atau abnormalitas CFTR yang mendasari, meskipun riset selanjutnya di bidang ini diperlukan. Walau demikian, prevalensi efek-efek merugikan pengobatan pada CF diharapkan terus meningkat ketika kelangsungan hidup dalam kondisi ini terus meningkat.
            Akan juga berguna jika bisa memprediksi toksisitas awal dan dapat dibalikkan sebelum kerusakan yang signifikan secara klinis telah terjadi. Saat ini kita bisa mendeteksi perubahan-perubahan awal pada fungsi sel target, meskipun tes-tes ini terbatas oleh daya terapnya pada praktek klinis rutin. Efek-efek merugikan pengobatan pada penderita CF akan semakin lebih umum jika pengawasan toksisitas aminoglikosida tidak dijalankan. Pengawasan rutin audiometriks dan fungsi ginjal menjadi praktek standard jika kita ingin menurunkan sakit jangka panjang pada pasien-pasien ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar