STUDI FARMAKOKINETIKA ARTEMISININ SETELAH PEMAKAIAN ORAL
PREPARAT TRADISIONAL ARTEMISIA ANNUA L. (KAYU-CACING ANNUAL)
Intisari Artemisia annua L. (kayu-cacing annual) berisi artemisinin antimalaria. Preparat mengandung
air dari herbal yang dikeringkan ini dimasukkan ke dalam farmacopoeia Republik
Rakyat China untuk mengobati demam dan malaria. Empatbelas sukarewalan pria sehat
menerima satu liter teh yang dipreparasi dari sembilan gram daun-daun Artemisia
annua. Sampel-sampal darah diambil dan artemisinin dideteksi dengan
chromatografi cair performance-tinggi fase terbalik. Nilai tengah ± konsentrasi plasma maksimal SD
artemisinin adalah 240 ± 75 ng/mL dan nilai tengah ± arca di bawah kurva waktu-konsentrasi
plasma adalah 336 ± 71 ng/mL x jam. Artemisinin diserap
lebih cepat dari praparat teh herbal daripada dari bentuk dosis padat oral,
tetapi ketersediaan-hayatinya sama. Satu liter preparat mengandung air dari
sembilan gram Artemisia annua berisi 94.5 miligram artemisinin (kira-kira 19%
dari dosis harian direkomendasikan biasanya). Konsentrasi plasma artemisinin
setelah minum teh herbal ini cukup untuk efek klinis, tetapi tidak cukup untuk
merekomendasikan preparat seperti ini sama dengan substitusi ekivalen untuk
obat-obatan artemisinin pada pengobatan malaria.
PENGANTAR
Malaria
adalah infeksi parasit paling penting dunia, yang menyebabkan lebih dari satu
juta kematian dan 500 juta kasus setiap tahunnya. Disamping upaya besar-besaran
untuk mengontrol malaria, sakit dan kematian global pada prinsipnya tidak berubah
lewat 50 tahun terakhir ini. Masalah pentingnya adalah kegagalan dalam
mendapatkan alat-alat efektif yang ada melawan malaria yang akan dijalankan di
daerah-daerah dimana alat bisa paling mendatangkan manfaat. Jika preparat
antimalaria yang aman dan efektif bisa diproduksi dengan alat-alat sederhana
dari tanam-tanaman obat yang tumbuh di tempat, maka preparat semacam itu dapat
menawarkan alat tambahan unuk mengendalikan malaria, khususnya di lokasi-lokasi
geografis terpencil, dan dalam situasi politik dan ekonomi yang menghalangi
ketersediaan obat-obatan antimalaria modern. Walau demikian, data terpercaya
tentang obat-obatan klinis, kemanjuran dan keamanan preparat-preparat semacam
itu sangat langka sehingga mencegah pertimbangan manfaat dan resiko potensial yang
yang bertanggungjawab atas pengendalian malaria.
Kulit
pohon Cinchona puberscents (kulit
Peruvian) adalah sumber quinine dan telah menjadi pengobatan utama penyakit malaria
yang membuat lemah selama berabad-abad ini. Senyawa aktif, artemisinin, diisolasi
oleh periset-periset China pada awal 1970-an. Pada dua dekade terakhir ini,
artemisinin dan turunan-turunan semisynthetis artesunate telah ditetapkan sebagai
antimalaria yang aman dan efektif. Toksisitas obat-obatan artemisinin jauh
lebih rendah dari quinine, atau bahkan chloroquine. Efek merugikan besar atau
tanda-tanda toksisitas tidak dilaporkan pada pasien manusia yang diberi obat
dengan dosis-dosis pengobatan. Karena monotherapi dengan artemisinin
menghasilkan tingkat rekrudesensi relatif tinggi dan ada kekhawatiran serius
tentang kemungkinan berkembangnya resistensi, maka Organisasi Kesehatan Dunia
merekomendasikan agar obat-obatan artemisinin sebaiknya digunakan bersama
dengan antimalaria lain yang efektif. Therapi kombinasi berbasis-artisinin
semakin banyak digunakan di wilayah Afrika dimana chloroquine telah kehilangan
efektivitas dan resistensinya terhadap sulfadoxine-pyrimethamine yang sedang
muncul. Sejauh ini, tidak ada laporan resistensi klinis pada obat-obatan
artemisinin.
Tanaman
obat A. annua yang tumbuh dengan cepat
bisa dibudidayakan dengan relatif mudah di negara-negara miskin. Kandungan
artemisinin A. annua L. liar telah
dideskripsi bervariasi antara 0.02% dan 1.1% bobot kering, bergantung pada
sumber tanaman dan kondisi pembudidayaan. Hasil 1.4% bobot kering bisa didapat
dari cangkokan yang disebut Artemis yang telah dikembangkan untuk produksi
artemisinin komersial. Pharmacopoeia Republik Rakyat China sekarang ini secara
resmi mendaftar tanaman obat kering A. annua
sebagai obat untuk demam dan malaria. Dosis harian ditetapkan sebesar 4.5 sampai
9 gram tanaman kering yang dikerjakan sebagai infus teh dengan air mendidih.
Artemisinin sendiri tidak mudah terlarut dalam air tetapi bisa dilarutkan jika
ada konstituen-konstituen tanaman lain dengan sifat-sifat amphiphilic (misal,
flavonoid atau saponin). Walau demikian, tidak diteliti apakah konsentrasi
plasma artemisinin yang relevan secara klinis dapat dicapai dengan mengambil
preparat-preparat tradisional semacam itu. Karena itu, kami telah menjalankan
percobaan klinis terbuka tidak-teracak pada sukarelawan-sukarelawan laki-laki
untuk menentukan konsentrasi plasma artemisinin setelah pemakaian oral preparat
A. annua L. yang mengandung air. Kami juga menentukan
konsentrasi artemisinin pada bahan tanaman yang dikeringkan dan pada preparat
teh herbal.
MATERI DAN METODA
Materi tanaman dan zat kimia. Artemisia
annua L. Cv. Artemis, adalah
cangkok yang dikembangkan oleh Mediplant (Conthey, Swiss), yang disebarkan
secara vegetatif dan dibudidayakan di kebun tanaman obat Institut Obat-obatan
Universitas Tubingen. Bagian-bagian tanaman berbentuk gas dipanen dengan segera
sebelum berbunga dan dikeringkan-udara pada suhu sekitar. Daun-daun yang
dikeringkan diangkat dari batang dan diayak (ukuran ayak = 5 mm). Materi ini
digunakan di sepanjang penelitian ini. Artemisinin otentik didapat dari
Sigma-Aldrich (Taufkirchen, Jerman).
Penentuan
kandungan artemisinin pada materi tanaman. Ekstraksi (pengambilan sari)
artemisinin dari materi tanaman yang dikeringkan dijalankan dengan menggunakan
metoda yang dimodifikasi dari Zhao dan Zeng. Satu gram materi tanaman kering yang
dijadikan tepung diekstraksi (diambil sarinya) dengan 100 mL petrol ether pada
suhu 60-90oC selama tiga jam dalam peralatan soxhlet (Fisher
Scientific Schwerte, Jerman). Pelarut ini diuapkan, dan residu dicairkan dalam
10.0 mL ethanol dan dianalisa dengan chromatofragi cair berperformance-tinggi
(HPLC) seperti yang diuraikan oleh Zhao. Ekstraksi dengan ethyl acetate dan
bukan petrol ether ini memberi hasil-hasil yang sama.
Preparasi teh dan ekstraksi artemisinin
dari teh. Untuk setiap metoda praparasi, 1.0 liter air disaring mendidih
ditambahkan ke lima atau sembilan gram herbal kering. Dengan metoda A, campuran
dibiarkan sampai dingin dengan suhu kamar sebelum materi tanaman diangkat
dengan penyaringan. Pada metoda B, campuran dididihkan selama 30 menit, teh
didinginkan dengan suhu kamar, dan berikutnya materi tanaman diangkat dengan
penyaringan. Pada metoda c, setelah menambahkan air mendidih, campuran dengan cepat
diaduk dan container atau wadah ditutup selama 10 menit. Berikutnya, materi
tanaman diangkat dengan penyaringan dan diremas dengan lembut untuk melepas air
yang tersisa. Teh dibiarkan menjadi dingin pada suhu kamar. Untuk deteksi
artemisinin, 200 mL dari setiap teh herbal diekstraksi dua kali dengan 200 mL
petrol ether pada suhu 60-90oC. Fase organik dikeringkan dengan
sodium sulfate, larutan ini diuapkan, dan residunya dilarutkan dalam 10.0 mL
ethanol.
Subyek. Sukarelawan-sukarelawan pria
sehat direkrut melalui iklan dari mahasiswa dan staf Universitas Tubingen.
Kriteria pemasukan adalah usia antara 18 dan 35 tahun dan hasil pemeriksaan
fisik, electrocardiogram, dan parameter-parameter laboratorium rutin tanpa
abnormalitas bermakna secara klinis. Kriteria tidak dimasukkan adalah setiap
obat yang diminum dalam tujuh hari sebelum penelitian dan merokok. Protokol
studi ditinjau dan disetujui oleh Komite Etika Rumahsakit Universitas Tubingen
dan setiap subyek memberikan persetujuan terinformasikan tertulis.
Kejadian-kejadian merugikan dipantau sepanjang masa penelitian.
Desain studi. Studi center-tunggal,
terbuka dijalankan dengan memasukkan 14 subyek Kaukasia. Setelah berpuasa
semalam dan makan pagi ringan dibakukan, para subyek menerima satu liter teh A. annua yang dipreparasi baru saja
secara oral (9 gram herbal/liter, kandungan artemisinin = 94.5 mg/liter) dibagi
menjadi lima dosis 200 mL. Setiap dosis diminum lewat masa tiga-menit sehingga
jumlah teh yang diminum diselesaikan dalam 15 menit. Semua subyek mendapatkan
makanan ringan dan makan yang sama dengan waktu-waktu sela setelah pemberian
dosis yang ditentukan.
Preparat sampel plasma. Sampel-sampel
darah (18 mL) diminum sebelum dan 0.5, 1, 2, 3, 4, dan 8 jam setelah memulai
pengobatan dengan teh A. annua menggunakan
monovettes EDTA (Sarstedt, Numbrecht, Jerman). Kandungan monovette dicampur
dengan lembut dan sampel-sampel disentrifugasi dengan segera pada 2.800 x g
pada suhu 4oC selama lima menit. Plasma dipisahkan dari sel-sel dan
disimpan pada suhu -20oC.
Ekstraksi artemisinin dari plasma.
Ekstraksi dijalankan dengan menggunakan metoda dimodifikasi dari metoda
Titulaer dan kawan-kawan. Satu mililiter plasma diekstraksi dua kali dengan 800
mL heptane. Pemisahan fase-fase
difasilitasi dengan sentrifugasi. Fase-fase organik dikombinasikan dan pelarut
diuapkan. Residu dilarutkan dalam 100 mL ethanol.
Deteksi artemisinin dengan HPLC. Metoda
ini didasarkan pada metoda Edlund dan kawan-kawan. Delapanpuluh mikroliter
larutan mengandung ethanol didapat dari ekstraksi plasma, teh, o, materi herbal
kering dipisahkan pada kolom RP-18 5mm Multophere 250 x 4.6 mm
(Chromatography Service, Langenwehe, Jerman). Gradien linear dari 45-100%
acetonitrile dalam air (20 menit, 1 mL/menit) digunakan. Untuk derivatisasi
post-kolom on-line, 0.3 M KOH mengandung air ditambahkan untuk mengevaluasi
pada tingkatan 0.2 mL/menit. Campuran yang dihasilkan dilewatkan melalui
kapiler baja 5-meter (0.5 mm diameter internal) yang direndam di dalam kolam
air pada suhu 70oC. Penyerapan ultraviolet dipantau pada 289 nm.
Analisis data farmakokinetika.
Profil-profil waktu-konsentrasi artemisinin plasma dianalisa untuk setiap
subyek menggunakan metoda-metoda non-kompartemental. Konsentrasi puncak pada
plasma (Cmaks) dan waktu untuk Cmaks (tmaks)
diturunkan secara langsung dari data orisinil. Konstan tingkat eliminasi, k, dihitung dengan analisis regresi
linear menggunakan empat atau lima poin kurva waktu-konsentrasi plasma log
terakhir. Eliminasi separuh-kehidupan (t½) dihitung dengan persamaan
t½ = ln/k. Area di bawah kurva waktu-konsentrasi plasma (AUC) dengan
konsentrasi terakhir yang dapat diukur (AUC0-t) dihitung menggunakan
trapezoidal dengan program komputer GraphPad Prisma versi 2 (GraphPad Software,
Inc. San Diego, Kalifornia). Total area di bawah kurva waktu-konsentrasi plasma
(AUC0-w) didapat dengan menambahkan AUCo-t dan AUCt-w.
AUCt-w diekstrapolasi dengan membagi konsentrasi darah dapat diukur
terakhir dengan k. Area yang
diekstrapolasi AUCt-w lebih kecil dari 10% AUCo-w.
HASIL-HASIL
Kandungan artemisinin pada Artemisia annua
L. yang
dibudidayakan. Kandungan artemisinin bahan tanaman A. annua L. Artemis yang dikeringkan ditentukan sebagai 1.39%
dengan menggunakan ekstraksi dengan petrol ether dan derivatisasi pre-kolom
yang dideskripsi oleh Zhao dan Zeng. Hasil-hasil sama didapat dengan
menggunakan derivatisasi post-kolom.
Konsentrasi artemisinin pada preparat teh A. annua L. Tiga metoda preparat
teh berbeda digunakan untuk menentukan metoda ekstraksi paling efisien.
Hasil-hasil ditampakkan pada Tabel 1. sampai 86% dari total artemisinin bisa
diekstraksi dari bahan tanaman yang dikeringkan dengan air mendidih. Air
mendidih diperlama (30 menit) sangat menurunkan hasil, diduga karena labilitas
kimia artemisinin yang dikenal. Metoda paling efisien preparat teh (metoda C)
menghasilkan 94.5 mg artemisinin dalam satu liter teh yang dipreparasi dari
sembilan gram daun-daunan. Preparat teh ini digunakan dalam studi pharlacokinetika berikutnya. Jumlah
ini sesuai hanya untuk 19% dari dosis artemisinin harian biasa pada orang-orang
dewasa. Walau demikian, bioavailabilitas artemisinin dari preparasi-praparasi
yang ada sekarang ini buruk, dan jelas kemungkinan yang ada bahwa bioavailabilitas
bisa jadi lebih tinggi dari preparat teh.
Perkembangan
metoda HPLC untuk deteksi artemisinin pada plasma. Metoda paling baik ditetapkan dan
paling luas digunakan untuk penentuan artemisinin pada studi-studi
pharmacokinetika adalah pemisahan dengan HPLC diikuti dengan derivatisasi
post-kolom dengan KOH mengandung air dan deteksi dengan penyerapan UV. Karena
itu kami mengadopsi metoda ini dengan menggunakan ekstraksi heptane plasma.
Prosedur analisis divalidasi dalam laboratorium kami dengan sampel-sampel
plasma manusia untuk mana kuantitas-kuantitas berbeda artemisinin otentik
ditambahkan. Batas deteksi kira-kira 5 ng/mL plasma, yang sama dengan hasil
dari studi-studi sebelumnya. Linearitas dipertegas antara 10 dan 500 ng/mL (e2
= 0.985). Pada 30 ng/mL, koefisien variasnya 9.9% (100 ng/mL = 5.3%, 300 ng/mL
= 4.1%).
Kadar
plasma artemisinin setelah pemakaian oral teh yang dipreparasi dari A. annua. Empatbelas sukarelawan Kaukasia
direkrut ke dalam studi (rata-rata usia = 28 tahun, tingkatan = 8-31 tahun;
rata-rata berat badan = 75 kg, tingkatan = 62-91 kg). Para subyek menerima satu
liter teh A. annua secara oral yang baru
saja dikerjakan (kandungan artemisinin = 94.5 mg); jumlah dosis lengkap yang
diperlukan rata-rata 15.4 menit (tingkatan = 10-24 menit). Sampel darah diambil
sebelum dan 0.5, 1, 2, 3, 4, dan 8 jam setelah memulai pengobatan dan
konsentrasi artemisinin plasma ditentukan. Hasil-hasil individual untuk setiap
subyek ditampakkan pada Tabel 2, dan rata-rata kurva waktu-konsentrasi plasma untuk
14 subyek ditampakkan pada Gambar 1. Artemisinin diserap sangat cepat, dan
maksimal konsentrasi plasma diamati 30 menit setelah pengobatan dimulai (Cmaks
= 240 ng/mL, SD = 75 ng/mL). Sebagai perbandingan, delapan penelitian
sebelumnya menyatakan bahwa pemakaian oral 500 mg artemisinin murni dalam
bentuk kapsul menghasilkan rata-rata Cmaks 531 ng/mL. Cmaks
dicapai pada rata-rata 2.3 jam setelah pemakaian. Penelitian lain yang
menggunakan dosis oral 100 mg artemisinin dalam bentuk kapsul-kapsul
menunjukkan rata-rata konsentrasi puncak 162 ng/mL dicapai 2.4 jam setelah pemakaian.
Obat teh pada penelitian kali ini (94.5 mg artemisinin) menghasilkan AUC
artemisin di dalam plasma 336 ng/mL x jam (SD = 71 ng/mL (tingkatan =
1.373-2.611 ng/mL x jam) dilaporkan pada penelitian-penelitian dengan
menggunakan 500 mg artemisinin dalam bentuk kapsul. Karena itu,
ketersediaan-hayati artemisinin dari preparat teh sangat mirip dengan
ketersediaan-hayati dari artemisinin pada kapsul. Eliminasi separuh-kehidupan
artemisin dalam penelitian kami adalah 0.87 jam (SD = 0.23 jam), sama dengan
hasil-hasil sebelumnya. Obat dalam penelitian ini ditoleransi dengan baik oleh
para subyek. Seorang subyek mengembangkan tanda dan gejala reaksi alergis,
termasuk ruam-ruam kulit dan batuk, tak lama setelah meminum teh herbal.
Gejala-gejala ini sembuh dengan cepat tanpa memerlukan obat. Tidak ada kejadian
merugikan lain yang diamati.
PEMBAHASAN
Penelitian
kali ini meneliti prepasasi-preparasi teh dari tanaman obat tradisional China A. annua L. Sedikit yang tidak diperkirakan,
sebagian besar dari artemisinin yang berisi dalam daun-daun A. annua kering bisa diekstraksi dengan air
mendidih. Meskipun daya larut agen-agen lipophilic dari konstituen-konstituen
tanaman lain merupakan fenomena yang dikenal baik, ini merupakan contoh sangat
mengejutkan untuk efek semacam ini. Preparat teh, yang didasarkan pada
rekomendasi-rekomendasi dosis pharmacopoeia Republik Rakyat China sekarang ini,
berisi total jumlah 94.5 mg artemisinin dalam satu liter teh. Ini rendah dalam
perbandingan untuk 500 mg artemisinin yang umum digunakan sebagai dosis harian
artemisinin untuk orang-orang dewasa dalam bentuk tablet atau kapsul. Data kami menunjukkan bahwa
artemisinin diserap lebih cepat dari preparat teh daripada dari kapsul. Kami temukan konsentrasi
puncak dari 240 ng/mL setelah jumlah pemakaian teh herbal, yaitu kira-kira 40%
dari konsentrasi puncak yang dilaporkan setelah jumlah pemakaian 500 mg
artemisinin dalam bentuk kapsul. AUC yang ditemukan dalam penelitian sekarang
ini hanya 16% dari rata-rata AUC dilaporkan setelah jumlah pemakaian 500 mg
artemisinin dalam bentuk kapsul, yang merefleksikan dosis lebih rendah yang
dimasukkan ke dalam teh (19% dari dosis kapsul). Jadi, ketersediaan-hayati
artemisinin dari preparat teh herbal sama dengan ketersediaan-hayati
artemisinin dari kapsul. Beberapa data tersedia untuk dosis minimal (atau
minimal konsentrasi plasma) artemisinin yang diperlukan untuk kemanjuran klinis
pada pengobatan malaria. Minimal konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan Plasmodium falciparum in
vitro telah dinilai pada 9 ng/mL. Konsentrasi plasma artemisinin yang dicapai
dalam penelitian kali ini jelas melebihi nilai ini untuk paling sedikit empat
jam dalam aturan pemberian dosis kali ini. Artemisinin dan dihydroartemisinin
dikenal sangat berakumulasi dalam erythrocyte yang terinfeksi, dan hubungan
nyata antara kedua konsentrasi dalam plasma dan dalam arythrocyte ini belum
diketahui. Konsentrasi plasma ditemukan pada penelitian kali tampaknya cukup
untuk menjelaskan hambatan pertumbuhan P.
falciparum dan efek klinis memungkinan preparat-preparat A. annua tradisional yang digunakan
pada jaman China kuno dan modern. Walau demikian, konsentrasi-konsentrasi
plasma sangat lebih rendah dari konsentrasi yang dicapai oleh preparat-preparat
artemisinin modern. Karena itu, penelitian kami menunjukkan bahwa preparat teh
tidak sama dengan obat-obatan artemisinin modern. Ini dipertegas dengan percobaan
klinis sekarang ini dengan preparat teh A.
annua yang sama pada pasien-pasien malaria, yang menunjukkan penurunan
cepat perbaikan klinis dan parasitemia selama therapi, tetapi tingkat rekrudesensi
tinggi tidak dapat diterima setelah dihentikannya pengobatan. Monotherapi
dengan preparat teh dari A. annua
karenanya tidak direkomendasikan sebagai opsi pengobatan malaria juga karena
kekhawatiran tentang perkembangan resistensi mungkin terhadap artemisinin.
PEMBERIAN RESEP AMINOGLIKOSIDA DAN PENGAWASAN CYSTIC
FIBROSIS
Divisi Akademis Kesehatan Anak, dan
divisi Ilmu Kedokteran Pernafasan, Universitas Nottingham, dan Departemen
Penyakit Anak, rumahsakit Nottingham City, Nottingham, Inggris Raya
Kata kunci: cystic fibrosis;
antibiotika aminoglikosida, ototoksisitas, nefrotoksisitas
Potensial antibiotika aminoglikosida
yang menyebabkan ototoksik dan kerusakan nefrototoksik pertama kali ditemukan
tahun 1945, selama percobaan-percobaan klinis awal streptomycin. Disamping
pengenalan kelas-kelas baru antibiotika, amunoglikosida terus banyak diberikan
di klinis-klinik cystic fibrosis (CF) dan kemungkinkan obat ini tetap
mempertahankan peran pentingnya dalam penanganan penyakit paru CF untuk masa
datang yang dapat diramalkan. Agen yang sangat aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa ini memperlihatkan
sinergisme dengan antibiotik b-lactam dan secara efektif
mempenetrasi ludah pasien dengan CF.
Pasien
dengan CF sekarang dapat diperkirakan hidup sampai dekade keempat dan lebih,
dengan pendidikan penuh waktu diikuti dengan tenaga kerja dan gaya hidup aktif
menjadi sasaran yang dapat ditahan. Karena itu, peran klinisi CF saat memberikan
resep perjalanan obat-obatan toksik potensial berulang adalah untuk memastikan
kemanjuran optimal dengan minimal toksisitas kumulatif. Petunjuk tentang
bagaimana harus memberikan aminoglikosida secara efektif dapat memperkecil resiko
mengembangkan toksisitas diperlukan.
Masih
ada kontroversi di seputar prevalensi, kepentingan, dan peran pengawasan toksisitas
yang ditimbulkan aminoglikosida pada CF. Tidak ada penelitian besar
pasien-pasien yang naive-aminoglikosida dengan CF untuk menjernihkan isu-isu
ini, dan bukti dari para pasien tanpa CF kemungkinan tidak dapat dijalankan
secara langsung. Pernyataan-pernyataan konsensus sekarang ini dihasilkan oleh
UK CF Perlindungan dan Komite Konsensus Therapi Antibiotika Eropa dan CF tidak
membuat referensi untuk wilayah screening yang kontroverisal untuk toksisitas
ditimbulkan aminoglikosida. Yayasan CF Amerika Utara merekomendasikan agar
analisis urine, nitrogen urea darah dan kreatinin sebaiknya diukur setelah
masing-masing perjalanan pemberian obat intravena, dan audiologi sebaiknya
dijalankan setiap dua sampai empat perjalanan aminoglikosida intravena,
meskipun bukti pada mana rekomendasi-rekomendasi ini didasarkan tidak jelas.
Perspektif paru-paru akan meninjau literatur yang ada di sekitar pemberian
resep dan pemantauan aminoglikosida dan mengedepankan saran-saran yang
berhubungan dengan praktek klinis yang baik.
PEMBERIAN RESEP AMINOGLIKOSIDA PADA CF
Farmakokinetika aminoglikosida pada CF
Aminoglikosida adalah molekul-molekul
kationik sangat polar yang relatif tak dapat larut lipid dan sangat dapat
terlarut air. Jika diberikan intravena, agen ini terdistribusi hampir
seluruhnya ke massa kurus tubuh dari mana 70% adalah air tubuh dan sisanya
otot. Setelah pemberian intravena, aminoglikosida terdistribusi dengan cepat ke
seluruh kompartemen cair ekstrasel, dengan puncak kadar serum dicapai dalam 30
menit pada akhir infus 30-menit.
Pasien
dengan CF secara khusus diberi resep dosis tinggi perjalanan antibiotika
intravena diperpanjang berdasarkan laporan-laporan farmakokinetika diubah dan
karena sifat dan keparahan penyakit CF. Volume distribusi dan tingkat
penjernihan aminoglikosida ditingkatkan, dengan separuh-kehidupan tobramycin
antara 2 dan 3 jam. Aminoglikosida menjalani pengikatan protein minimal dan
dieliminasi hampir sepenuhnya dengan penyaringan glomerular.
Dosis Permulaan
Dosis permulaan aminoglikosida secara
tradisional dihitung dari area permukaan tubuh (60-75 mg/m2/dosis), berat badan
(3.3-5 mg/kg/dosis) atau dari catatan dosis-dosis sebelumnya yang mencapai
level pengobatan. Dalam praktek kami, maksimal total dosis harian yang
diberikan resepnya adalah 660 mg dengan tiga dosis terbagi. Meskipun
teknik-teknik terarah klinis ini hanya memerlukan penghitungan sederhana, namun
metoda-metoda ini menghasilkan konsentrasi serum puncak sangat bervariasi.
Pendekatan-pendekatan dengan menggunakan model-model populasi, yang
memperhitungkan fungsi ginjal, dilaporkan sebagai sangat baik.
Frekuensi Dosis dan Pemantauan
Aminoglikosida paling umum diresepkan
tiga kali sehari, dengan konsentrasi serum puncak dan tampungan yang dipantau
untuk mempertegas kadar-kadar serum ada di dalam tingkatan pengobatan dan non toksik,
masing-masing. Kadar serum puncak optimal untuk tobramycin atau gentamicin biasanya
dianggap pada 8 sampai 12 mg/L 30 menit setelah penyelesaian infus intravena
dan < 1 mg/L selama tampungan. Praktek kami ditunjukkan untuk kadar-kadar
puncak yang lebih dekat dengan batas atas 12 mg/L sebagai model-model
laboratorium infeksi sputum (air liur) P.
aeruginosa menyatakan bahwa kadar puncak tobramycin lebih tinggi mencapai
pembunuhan bakterial lebih efektif.
Meskipun
kenyamanan untuk pasien, kemanjuran dan keamanan pemberian dosis aminoglikosida
sekali dan dua kali sehari tetapi belum terbukti pada CF. Walau demikian, pada
pemberian dosis sekali sehari, kadar puncak 20-30 mg/L khususnya dicapai dengan
kadar tampungan <1 mg/L. Strategi-strategi yang memaksimalisasi konsentrasi
puncak dan memperkecil konsentrasi tampungan aminoglikosida dapat meningkatkan
aktivitas bakterisidal dan menurunkan resiko nepfrotoksisitas dan
ototoksisitas. Karena aminoglikosida memperlihatkan pembunuhan terikat konsentrasi,
maka pencapaian rasio untuk kadar aminoglikosida puncak konsentrasi penghambat
minimal sebagai kelebihan dari 8 dapat memberikan keberhasilan klinis yang
meningkat. Selanjutnya, dengan meningkatkan interval antara dua dosis, orang
dapat mengharapkan penurunan kadar aminoglikosida serum biasa, yang dengan demikian
dapat menurunkan akumulasi dalam ginjal dan telinga dalam.
Pemantauan
obat terapetik aktif mengoptimalisasi dosis permulaan dan mengevaluasi
parameter-parameter farmakokinetika individual berjalan untuk mempertahankan
kadar aminoglikosida serum dalam tingkatan-tingkatan target. Teknik yang paling
banyak digunakan adalah model Sawchuk-Zaske, meskipun softare farmakokinetik
juga tersedia. Rasio konsentrasi penghambat minimal/konsentrasi aminoglikosida
puncak bisa dimaksimalisasi yang akan diperkirakan dapat meningkatkan hasil
klinis. Metoda-metoda ini juga dilaporkan dapat menurunkan waktu untuk mencapai
kadar target aminoglikosida dan menghasilkan penurunan ongkos.
Menyesuaikan Dosis-dosis aminoglikosida pada Gagal Ginjal
Konsentrasi toksis aminoglikosida ini
akan berkembang jika dosis tidak disesuaikan dengan kegagalan ginjal. Penghindaran
penggunaan minoglikosida merupakan opsi jarang, karena munculnya
keturunan-keturunan resisten P. aeruginosa
yang memaksakan penggunaannya. Formulasi matematis atau nomogram telah
digunakan selama bertahun-tahun untuk menyesuaikan aturan pemberian dosis
aminoglikosida, dengan memperhiutngkan fungsi ginjal, yaitu separuh kehidupan
gentamicin bisa dinilai sebagai fungsi dari konsentrasi kreatinin serum (mg/100
ml) dikalikan dengan faktor empat. Walau demikian, formula ini secara orisinil
dihitung dari pasien tanpa CF.
TOKSISITAS AMINOGLIKOSIDA PADA CE
Nefrotoksisitas
Nefrotoksisitas diakibatkan oleh
proporsi dosis yang diberikan kecil tetapi bisa diukur dalam mempertahankan
sel-sel epithelial tubula proksimal. Ikatan aminoglikosida brush membran-membran
batas, dimana membran diendositasi dan diakumulasi dengan phospholipid di dalam
lytosome sel tubular. Meningkatnya akumulasi aminoglikosida mengakibatkan
perubahan terbalik fungsi sel dan utamanya necrosis sel. Toksisitas berlanjut
dicirikan dengan meningkatnya ekskresi elektrolit seperti magnesium, kalium dan
kalsium. Akhirnya, gagal ginjal dicirikan dengan uremia dan konsentrasi
kreatinin serum yang tinggi. Dalam praktek klinis, ini mempresentasikan kegagalan
ginjal non oligurik dengan penurunan tingkat penyaringan glomerular.
Perkembangan ke gagal ginjal oligurik atau anurik jarang, dengan kesembuhan dan
dihentikannya aminoglikosida yang merupakan hasil paling umum.
Seberapa Umum Nefrotoksisitas ditimbulkan aminoglikosida
pada CF?
Penilaian
akurat prevalensi kondisi ini sulit ditegaskan, karena banyak literatur tentang
CF terbatas pada perbandingan-perbandingan aturan pemberian dosis dan
laporan-laporan kasus. Selanjutnya, prevalensi kerusakan ginjal akan bergantung
pada penanda-penanda fungsi ginjal yang diiukur dan kriteria yang digunakan
untuk menentukan nefrotoksisitas. Walau demikian, gagal ginjal dicirikan dengan
meningkatnya konsentrasi urea dan kreatinin yang tampaknya merupakan komplikasi
jarang pada terapi aminoglikosida pada penderita CF. Sebagai perbandingan, nefrotoksisitas
telah dinilai dapat mempengaruhi 10 sampai 20% perjalanan pengobatan dengan
aminoglikosida dalam populasi tanpa CF.
Para
klinisi umumnya menggunakan serum kreatinin, urea dan konsentrasi elektrolit
sebagai ukuran paling praktis fungsi ginjal. Sayangnya tidak satupun dari
penanda berguna kerusakan ginjal awal ini. Misalnya, definisi khas nefrotoksisitas
termasuk meningkatnya serum kreatinin dari > 40 mmol/L
(o.4mg/dL) atau meningkatnya konsentrasi serum kreatinin dari >50% dari
baseline. Walau demikian, konsentrasi serum kreatinin bisa tetap dalam
tingkatan normal bahkan dengan adanya 50% penurunan pada tingkat penyaringan
glomerular. Selain itu, metabolisme protein, keadaan hidrasi, dan penggunaan
steroid mempengaruhi konsentrasi urea darah. Jadi, pasien yang sangat kurang
nutrisi dengan CF bisa memiliki konsentrasi urea darah relatif normal dengan
adanya kerusakan ginjal signifikan. Meningkatnya kehilangan potasium, kalsium,
dan kalium yang meningkat, yang merefleksikan disfungsi tubular, akan
mendahului meningkatnya kadar kreatinin dan urea. Hipomagnasemia pada penderita
CF yang menerima aminoglikosida terdokumentasikan dengan baik, tetapi bisa menjadi
multifaktorial sebagai sumbernya, dengan malnutrisi, malabsorpsi, diabetes dan
hiperaldosteronisme sekunder yang menjadi faktor-faktor penyumbang. Saat ini,
penanda fungsi tubular proksimal, seperti N-acetyl-b-O-glucosaminidasae
(NAG, enzim lyposomal) telah dinyatakan sebagai penanda awal toksisitas tubular
ditimbulkan aminoglikosida. Tubulus proksimal di lokasi primer kerusakan aminoglikosida, dan kadar
protein-protein ini yang sangat meningkat bisa ditemukan pada urin setelah
pemberian aminoglikosida intravena. Walau demikian, implikasi klinis protein pipa
(tubula) proksimal yang meningkat tetap tidak jelas, dan pengukurannya tetap
menjadi alat riset paling utama.
Bagaimana Menilai Fungsi Ginjal pada CF
Tes standar emas untuk menilai fungsi
ginjal adalah tingkat penyaringan glomerular (tingkatan normal, 80-120
ml/menit), pemeriksaan benar-benar teliti yang melibatkan pemberian
isotop-isotop berlabel radio. Penilaian fungsi ginjal yang lebih praktis adalah
penjernihan kreatinin, yang mengukur kemampuan ginjal dalam membersihkan kreatinin
dari sirkulasi ke dalam urin lewat 24 jam. Namun demikian, tingkat penjernihan
kreatinin sebaiknya ditafsirkan untuk pasien-pasien CF individual karena
konsentrasi kreatinin serum dipengaruhi oleh masaa otot, yang bisa menurun pada
CF. Formula Cockroft-Gault dimodifikasi (dihitung setelah penyerapan 2.4 g
Cimetidine), menghitung penjernihan kreatinin, memperbaiki usia, massa tubuh,
dan konsentrasi kreatinin serum.
OTOTOKSISITAS
Dikenal dengan baik bahwa penggunaan
antibiotika aminoglikosida membawa risiko toksisitas vestibular dan
pendengaran. Sel-sel indra cochlea terbagi menjadi sel-sel rambut luar dan
dalam. Pola khas kehilangan pendengaran berfrekuensi tinggi ditimbulkan
aminoglikosida diakibatkan oleh hilangnya fungsi sel-sel rambut luar secara progresif
dengan sel-sel rambut dalam. Mekanisme ini melibatkan penetrasi endolympha,
pemakaian aktif ke dalam sel-sel rambut, penyimpanan dan akhirnya pembangkitan
radikal-radikal bebas yang merusak. Jika sistem-sistem detoksikan pada sel-sel
rambut tidak cukup menangani tantangan ini, maka kematian sel apoptotik
dihasilkan. Model-model eksperimental menyatakan bahwa separuh kehidupan
aminoglikosida pada sel-sel rambut dapat diukur berbulan-bulan. Jika interval
antara dua perjalanan aminoglikosida berulang lebih kecil dari separuh kehidupan
ini, maka akumulasi aminoglikosida pada sel-sel rambut telinga dalam akan terjadi.
Seberapa Umum Kehilangan Pendengaran Ditimbulkan
aminoglikosida pada CF?
Mulheran dan teman-teman kerjanya
telah melaporkan prevalensi kehilangan pendengaran pada pasien dengan CF,
dengan menggunakan protokol-protokol yang dikenal untuk testing audiometriks.
Prevalensi kehilangan pendengaran pada 70 pasien muda (10-18 tahun, n = 27) dan
dewasa (18-37 tahun, n = 43) dengan CF menggunakan audiometri nada murni
frekuensi tinggi dan standar adalah 17%. Prevalensi kehilangan pendengaran pada
populasi anak biasanya dilaporkan lebih rendah (0-6%) yang dapat merefleksikan
paparan aminoglikosida lebih kecil dan kerusakan lingkungan lebih kecil.
Sebagai
perbandingan, beberapa studi telah meneliti prevalensi toksisitas
aminoglikosida pada pasien tanpa CF dengan taksiran kehilangan pendengaran 20%
dan disfungsi keseimbangan 15%. Mulheran dan teman-teman kerjanya mendeskripsi
penilaian resiko perjalanan untuk berkembangnya ototoksisitas setelah perjalanan
antibiotika aminoglikosida; 7.5% pada populasi tanpa CF dibandingkan dengan
kurang dari 2% pada pasien dengan CF. Perbedaan dalam resiko ini kemungkinan
menyatakan bahwa pasien-pasien ini dengan pasien-pasien CF kurang mungkin
mengembangkan kehilangan pendengaran dari perjalanan aminoglikosida daripada
pasangan mereka tanpa CF, yang memunculkan kemungkinan bahwa pasien dengan CF
bisa terlindung dari potensial toksik antibiotika aminoglikosida.
Menentukan Ototoksisitas
Kehilangan pendengaran awal
didefinisikan sebagai peningkatan ambang pada suatu frekuensi sampai 25dB GL,
untuk semua tingkatan frekuensi 250-8.000 Hz. Aminoglikosida secara khusus
memproduksi pola berfrekuensi tinggi, penaikan ambang yang tak dapat
dibalikkan, yang berkembang ke frekuensi tuturan dengan paparan berlanjut.
Banyak pasien yang barangkali tidak menyadari penaikan ambang berfrekuensi tinggi,
karena kemungkinan tidak mempresentasikan kesulitan bermakna pada tuturan
percakapan. Deteksi awal tingkat kerusakan kecil bisa memungkinkan prediksi dan
prevensi kehilangan pendengaran yang bermakna secara klinis.
Vestibulotoksisitas
dalam hubungannya dengan infus aminoglikosida umumnya disebut sebagai ”rasa
pusing berputar-putar”. Gejala ini sering sulit ditentukan, tetapi secara khas
menunjuk pada vertigo berputar yang dihubungkan dengan sensasi rasa pusing,
pengeluaran keringat, muntah dan pucat yang tidak menyenangkan yang menyertai
stimulasi vestibular berlebihan. Untunglah, disfungsi vestibular tak dapat
dibalikkan tampaknya menjadi efek samping aminoglikosida yang tidak biasa,
meskipun laporan-laporan anekdot pasien yang mengalami ’rasa pusing
berputar-putar’ sementara dan dapat dibalikkan dikenal dengan baik. Masalah ini
sering tidak dapat diprediksi, meskipun sering menjelaskan hubungan dengan
dosis tinggi (15 mg/kg/dosis), infus cepat aminoglikosida, paparan terhadap
netilmicin, penggunaan berulang obat-obatan nefrotoksik, atau obat-obatan yang
sebelumnya telah menyebabkan pusing berputar-putar.
Menurunkan Risiko Berkembangnya Toksisitas
Faktor-faktor risiko untuk
nefrotoksisitas ditimbulkan aminoglikosida dan ototoksisitas pada umumnya sama.
Strategi untuk menurunkan risiko berkembangnya toksisitas adalah paparan
kumulatif terhadap aminoglikosida. Ada hubungan nonlinear antara paparan
aminoglikosida kumulatif dengan berkembangnya toksisitas, yang kemungkinan bisa
diperburuk dengan separuh kehidupan aminoglikosida diperpanjang dalam sel-sel
target.
Aminoglikosida
tetap menjati pengobatan antibakterial penting dalam penanganan penyakit paru
CF. Karena itu, rekomendasi untuk menghentikan penggunaannya ketika ambang
paparan kumulatif telah dicapai tidak akan sangat membantu. Walau demikian,
jika pasien menerima pengobatan antibiotika intravena lebih sering (setiap 2
bulan), maka klinisi akan mempertimbangkan penggunaan perjalanan aminoglikosida
secara berselang-seling. Dengan meningkatkan interval atau waktu selang antara
dua paparan aminoglikosida, dimana diindikasikan secara klinis, maka
penjernihan aminoglikosida dari perjalanan sebelumnya barangkali tidak mungkin.
Memilih Aminoglikosida Kurang Toksik
Aminoglikosida bisa diberi peringkat
dengan urutan toksisitas menurun: neomycin > amikacin > gentamicin =
tobramycin > netilmycin. Perbedaan pada potensial nefrotoksik dihubungkan dengan
meningkatnya kemampuan mengikat membran-membran batas pipa sikat ginjal.
Studi-studi eksperimental dan klinis telah menunjukkan bahwa resiko relatif
berkembangnya toksisitas pendengaran dari gentamicin dan tobramycin biasanya
dianggap sama.
Menghindari Penggunaan Berulang Obat-obatan Mengandung
Toksik Lain
Beberapa obat lain yang digunakan
dalam perawatan CF memiliki potensial nefrotoksik dan ototoksik. Ototoksisitas
yang diakibatkan penggunaan berulang diuretika dengan aminoglikosida
dideskripsi dengan baik dan sebaiknya dihindari apabila mungin. Kegagalan
ginjal sementara yang dihubungkan dengan penggunaan ibuprofen dan
aminoglikosida, interstitial nephritis yang dihubungkan dengan penggunaan
ceftazidime dan colistin atau vancomycin intravena yang digunakan bersama
dengan aminoglikosida semuanya telah dilaporkan dapat meningkatkan resiko nefrotoksisitas.
Sayangnya,
karena meningkatnya prevalensi species P.
aeruginosa yang resisten, kombinasi
antibiotika yang secara potensial mengandung toksik yang tidak dapat
dihindarkan banyak digunakan dalam praktek klinis. Ditingkatkannya pengawasan
kemungkinan akan membantu menurunkan risiko efek-efek samping ini.
Pemberian Dosis aminoglikosida Interval Diperpanjang
Beberapa meta-analisis terpisah yang
menyelidiki hubungan antara interval pemberian dosis dan toksisitas pada pasien
tanpa CF melaporkan bahwa pemberian dosis aminoglikosida interval diperpanjang
memiliki potensial kurang toksik daripada aturan pemberian tiga kali sehari
standar. Dalam pemberian dosis harian tiga kali, akumulasi aminoglikosida dapat
jenuh dalam sel-sel ginjal target dan telinga dalam bisa terjadi. Pada pipa-pipa proksimal ginjal, akumulasi
aminoglikosida melambat ketika konsentrasi serum mencapai 10-15 mg/L. Meskipun
pemberian dosis sekali sehari akan menghasilkan kadar puncak dalam kelebihan
dari tingkatan ini, namun juga kan meningkatkan waktu yang tersedia bagi
sel-sel target untuk menjernihkan aminoglikosida di antara dua dosis.
Walau
demikian, situasi pada pasien dengan CF kemungkinan berbeda karena perbedaan dalam
penanganan obat. Kajian sistematis kali ini tentang pemberian dosis sekali
sehari pada pasien dengan CF menyimpulkan bahwa ada bukti tidak cukup yang
merekomendasikan satu jadwal pemberian dosis atas jadwal pemberian dosis lain
dalam hal kemanjuran dan toksisitas. Dari catatan, tidak satupun pasien dalam
penelitian ini memperlihatkan nefrotoksisitas setelah pemberian dosis sekali
atau tiga kali sehari. Ada dua percobaan multicentre sekarang ini di AS dan
Inggris, yang dirancang untuk menjawab pertanyaan ini. Sampai saat ini, aturan
pemberian dosis sehari tiga kali standard sebaiknya digunakan.
PERTIMBANGAN SPESIAL PADA CF
Menggunakan Aminoglikosida pada Kehamilan
Sejumlah kehamilan dilaporkan pada
wanita-wanita penderita CF telah sangat meningkat lewat 10 tahun terakhir ini.
Perencanaan kehamilan yang teliti dan hati-hati akan ideal, tetapi tidak selalu
mungkin. Disarankan agar FEV1 >50% yang diprediksi dihubungkan dengan
hasil membaik untuk bayi. Namun demikian, beberapa ibu akan memerlukan
pengobatan antibiotika saat kehamilan, dan potensial teratogenik obat-obatan
ini sebaiknya dipertimbangkan.
Tobramycon
melewati plasenta, mendistribusi ke sebagian besar jaringan janin, dan berkonsentrasi
pada ginjal dan urin janin. Tidak ada laporan tentang teratogenisitas setelah
penggunaan tobramycin pada manusia, meskipun tobramycin dosis tinggi (30-69
mg/kg/hari) telah dilaporkan dapat menyebabkan toksisitas ginjal pada
tikus-tikus hamil dan janin mereka. Ototoksisitas tidak dilaporkan sebagai efek
dari paparan in utero. Namun begitu,
melihat risiko-risiko teoritis aminoglikosida, Layanan Informasi Teratologi
Nasional Inggris menyarankan agar tobramycin sebaiknya hanya digunakan pada
kehamilan jika manfaat potensialnya melebihi resiko potensialnya untuk janin.
Secara meyakinkan, Bouget dan teman-teman kerjanya melaporkan tidak ada efek samping
pada penggunaan sehari-sekali tobramycin (dan karena itu dosis tinggi) pada
wanita hamil selama tri semester kedua dan ketiga.
Aminoglikosida Yang dimasukkan ke alat kabut
Banyak penderita CF menerima
antibiotika aminoglikosida yang dimasukkan ke alat kabut sebagai tambahan atau
terapi pemeliharaan, karena kadar tobramycin dengan 1.237 mcg/g sputum ( air
liur ) bisa dicapai dengan menggunakan jalan ini. Kadar-kadar yang tinggi ini dipercaya dapat meningkatkan
pembunuhan terikat konsentrasi. Aminoglikosida diserap secara sistematis dari
sistem pernafasan, meskipun ketersediaan hayatinya dilaporkan rendah (11.7%
dari dosis nominal). Ramsey dan kawan-kawannya meneliti pemberian tobramycin
hirup pada CF yang digunakan secara berselang-seling. Nilai tengah kadar
tobramycin 1 jam setelah pemberian dosis pertama adalah 0.94 mg/L yang
merupakan nilai dari urutan besaran sama seperti kadar tampungan intravena.
Nilai tengah kadar tobramycin serum adalah 0.98 mg/L pada Minggu 20. Mereka
melaporkan tidak ada efek toksik pada fungsi ginjal atau pendengaran. Namun
demikian, tes-tes pengawasan yang digunakan untuk mendeteksi toksisitas
terbatas pada kepekaan. Selanjutnya, pasien yang menerima tobramycin intravena
berulang tidak dimasukkan dari analisis toksisitas.
Kajian
sistematis pasien-pasien dengan Cf yang menerima aminoglikosida yang dimasukkan
ke alat pembuat kabut juga menemukan tidak ada kasus efek merugikan. Namun demikian, tes-tes
pengawasan yang digunakan sekali lagi tidak cukup sensitif untuk mendeteksi perubahan-perubahan
subklinis pada fungsi pendengaran dan ginjal. Ring dan teman-teman kerjanya
memperlihatkan peningkatan NAG uriner pada pasien CF yang menerima gentamicin yang
dimasukkan ke alat pembuat kabut. Yang lebih bermana, mereka yang saat ini
menjalani terapi gentamicin memperlihatkan korelasi positif antara aktivitas
NAG uriner dengan dosis kumulatif gentamicin yang dimasukkan ke alat kabut.
Kemungkinan bahwa paparan kumulatif selanjutnya akan mengakibatkan kerusakan
ginjal lebih parah.
PETUNJUK UNTUK
PENGAWASAN AMINOGLIKOSIDA PADA CF
Nefrotoksisitas
Grup Antibiotika Trust CF Inggris mengenali bahwa pasien dengan CF dapat menerima
perjalanan obat-obatan toksis potensial berulang seperti aminoglikosida dan
merekomendasikan pemantauan teliti fungsi ginjal. Walau demikian, kelompok ini
tidak menawarkan saran pada mana tes-tes akan dijalankan dan kapan, kecuali bahwa selama terapi intravena air minum dan
kadar puncak aminoglikosida sebaiknya diukur. Yayasan CF Amerika Utara
merekomendasikan agar analisis urin, nitrogen urea darah dan kreatinin
sebaiknya diukur setelah setiap perjalanan pemberian obat intravena. Dalam
praktek klinis kami, fungsi ginjal dinilai pada permulaan dan selama minggu
kedua pengobatan pada semua pasien dengan CF yang menerima aminoglikosida
intravena. Serum magnesium, potassium, kalsium, kreatinin, dan konsentrasi
urea, bersama dengan kadar puncak dan air minum aminoglikosida, sebaiknya juga
diukur. Kadar air minum acak pada minggu kedua pengobatan akan mendeteksi
akumulasi aminoglikosida. Semua tes sebaiknya ditafsirkan dengan hati-hati,
karena memiliki kepekaan terbatas dan harus dinilai untuk setiap pasien individual.
Penilaian detil dan lebih sering fungsi ginjal ( penjernihan kreatinin )
sebaiknya dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan faktor risiko tambah
berkembangnya nefrotoksisitas.
Ototoksisitas
Akan tampak bijak jika menguji semua
pasien yang mengeluhkan gejala penglihatan atau vestibular saat pengobatan.
Selain itu, kami sebelumnya telah memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah
perjalanan aminoglikosida yang diterima pada pasien dengan CF tanpa kehilangan
pendengaran adalah 9, dan mereka yang kehilangan pendengaran 20 (p = 0.006).
Karena itu, kami sarankan agar semua pasien yang telah menerima 10 atau lebih
perjalanan aminoglikosida intravena sebaiknya juga menjalani penilaian
audiometriks rutin. Audiogram nada murni standard (250-8.000 Hz) meskipun
terbatas pada kepekaannya, namun siap dapat dinilai di kebanyakan pusat
kesehatan dan sebaiknya dijalankan pada penilaian tahunan. Ini akan memberi
penanda sangat berguna atas ada atau tidak adanya kehilangan pendengaran.
Meskipun kehilangan pendengaran berfrekuensi tinggi mendahului kehilangan
pendengaran untuk semua frekuensi tuturan, namun level testing ini hanya
disediakan di pusat-pusat spesialis. Emisi Otoakustik Hasil Distorsi telah
diajukan sebagai penanda awal fungsi sel rambut pada pasien yang secara kronis
terpapar pada aminoglikosida. Sel-sel rambut di telinga dalam dipaksa untuk
bergerak oleh stimuli akustik sampai terdistorsi dan menghasilkan energi yang
dikenal sebagai Emisi Otoakustik Hasil Distorsi. Walau demikian, ini tetap
menjadi alat eksperimental dan kegunaan belum sepenuhnya divalidasi sebagai
alat screening untuk kehilangan pendengaran ditimbulkan aminoglikosida pada CF.
KESIMPULAN
Prognosis pasien dengan CF terus
meningkat, sebagian karena penggunaan aturan pemberian antibiotika tepat waktu
dan sangat kuat, yang seringkali memasukkan aminoglikosida. Antibiotika ini
tetap menjadi pengobatan pilihan pada para pasien dengan CF yang secara kronis
terinfeksi P. aeruginosa, sehingga
paparan terhadap potensial roksik kumulatif obat-obatan ini akan berlanjut di
masa datang yang dapat diramalkan.
Pasien
dengan CF tampaknya menangani perjalanan aminoglikosida berulang dengan baik,
seperti prevalensi nefrotoksisitas dan ototoksisitas tampaknya rendah
dibandingkan dengan populasi tanpa CF. Perlindungan ini bisa diakibatkan oleh
penanganan farmakokinetika diubah dan atau abnormalitas CFTR yang mendasari,
meskipun riset selanjutnya di bidang ini diperlukan. Walau demikian, prevalensi
efek-efek merugikan pengobatan pada CF diharapkan terus meningkat ketika
kelangsungan hidup dalam kondisi ini terus meningkat.
Akan
juga berguna jika bisa memprediksi toksisitas awal dan dapat dibalikkan sebelum
kerusakan yang signifikan secara klinis telah terjadi. Saat ini kita bisa
mendeteksi perubahan-perubahan awal pada fungsi sel target, meskipun tes-tes
ini terbatas oleh daya terapnya pada praktek klinis rutin. Efek-efek merugikan
pengobatan pada penderita CF akan semakin lebih umum jika pengawasan toksisitas
aminoglikosida tidak dijalankan. Pengawasan rutin audiometriks dan fungsi
ginjal menjadi praktek standard jika kita ingin menurunkan sakit jangka panjang
pada pasien-pasien ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar