Membangun
Masyarakat Pembelajar
Andai semua yang telah
menjadi arang ini tidak juga membuat kita bersama-sama mencari alternatif untuk
menemukan kembali sekolah dan universitas 'model baru', maka sejarah akan
kembali terulang. Karenanya guna mencegah proses pembodohan lebih jauh lewat
lembaga-lembaga persekolahan, jelas diperlukan gagasan-gagasan dan
eksperimen-eksperimen baru. Jejak-jejak warisan perjuangan Romo Mangunwijaya
dengan Yayasan Dinamika Edukasi Dasarnya di Yogyakarta, tentu perlu diikuti.
Percobaan Sekolah Alam di Ciganjur, patut didukung. Perlu juga diperbanyak
'Sekolah Orang Tua' seperti yang diuji coba di Bintaro. Pendirian
sekolah-sekolah anak gelandangan seperti SD Imago Dei Kampus Diakonia Modern di
Pondok Gede atau sekolah kolong jembatan tol-nya Rian dan Rosi, kiprah LSM
Bahtera dan LSM Anak Merdeka di Ligar Jaya Bandung, patut diberi dukungan
tulus. Juga perlu kembali didirikan IKIP-IKIP model baru, dengan nama apapun,
yang benar-benar mencerminkan jiwa keguruan agar dapat disemai bibit-bibit Guru
Bangsa di masa depan.
Yang juga mungkin perlu
dirintis dari awal adalah pembentukan komunitas-komunitas pembelajar,
kelompok-kelompok belajar berdasarkan minat dalam masyarakat, SD Terbuka, SLTP
Terbuka, SMU Terbuka, Universitas Terbuka, sekolah khusus bagi anak-anak
nelayan di sepanjang pantai-pantai negeri ini. Dan sejalan dengan itu pandangan
bahwa dunia persekolahan adalah satu-satunya jalan untuk meningkatkan
taraf hidup harus mulai direvisi dengan menyediakan berbagai alternatif
pembelajaran diluar gedung (school without wall), agar dapat dikikis pemujaaan
terhadap gelar akademis dan perlakuan sekolah sebagai "agama" dan
"candu" modern yang harus dianut setiap orang.
Tegasnya, kita perlu
membangun masyarakat pembelajar, yang terutama belajar membagi tugas dan
tanggung jawab untuk mendampingi kamu muda mengejar jati dirinya, jati diri
komunitasnya, jati diri bangsanya, jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaan
Tuhan. Kita perlu membangun masyarakat pembelajar, yang tidak lagi dan tidak
akan pernah lagi, membuang tunas-tunas bangsa ke lembaga-lembaga pengajaran
versi Orde Baru, tetapi yang di dalam maupun diluar institusi formal, sama-sama
belajar di Sekolah Besar Kehidupan. Disanalah 'Ketuhanan Yang Maha Esa'
dihayati dan langsung diamalkan diam-diam. Disanalah 'Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab' diimplementasikan dan dipraktikkan tanpa slogan-slogan. Disanalah
benang-benang 'Persatuan Indonesia' kita jahit kembali dengan hati-hati dan
dari hati ke hati. Disanalah 'Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat dan
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan' kita jalankan setulus hati
dengan belajar untuk saling mengerti, saling menyepakati, mengakui kesalahan,
dan mengampuni tanpa dendam. Disanalah 'Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia' kita demonstrasikan dengan sikap peduli, rendah hati, dan cinta
dalam hidup sehari-hari.
Apakah itu akan mudah? Pasti
tidak. Paling sedikit diperlukan satu generasi, 15-25 tahun. Tapi mungkin
disitulah tantangannya, dan disitu pulalah harapannya. Dan sepanjang kita mau
belajar, baik sebagai pribadi (individual learning), sebagai kelompok (team
learning), maupun sebagai organisasi (organizational learning), dan sebagai
sebuah masyarakat bangsa (national learning), maka pembelajaran memungkinkan
tidak saja reformasi, tetapi juga transformasi dari bangsa yang memalukan
menjadi bangsa yang membanggakan. Bukankah ulat dan kepompong yang
"jelek" dimungkinkan berubah menjai kupu-kupu yang cantik? Dan
bukankah pasir yang melukai kerang dapat diubah menjadi mutiara yang indah?
Semua itu mungkin (possible), meski jangan harapkan akan mudah, apalagi
seketika.
Bukankah demikian?
Bukankah demikian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar