Selasa, 13 Maret 2012

Membangun Masyarakat Pembelajar


Membangun Masyarakat Pembelajar

Andai semua yang telah menjadi arang ini tidak juga membuat kita bersama-sama mencari alternatif untuk menemukan kembali sekolah dan universitas 'model baru', maka sejarah akan kembali terulang. Karenanya guna mencegah proses pembodohan lebih jauh lewat lembaga-lembaga persekolahan, jelas diperlukan gagasan-gagasan dan eksperimen-eksperimen baru. Jejak-jejak warisan perjuangan Romo Mangunwijaya dengan Yayasan Dinamika Edukasi Dasarnya di Yogyakarta, tentu perlu diikuti. Percobaan Sekolah Alam di Ciganjur, patut didukung. Perlu juga diperbanyak 'Sekolah Orang Tua' seperti yang diuji coba di Bintaro. Pendirian sekolah-sekolah anak gelandangan seperti SD Imago Dei Kampus Diakonia Modern di Pondok Gede atau sekolah kolong jembatan tol-nya Rian dan Rosi, kiprah LSM Bahtera dan LSM Anak Merdeka di Ligar Jaya Bandung, patut diberi dukungan tulus. Juga perlu kembali didirikan IKIP-IKIP model baru, dengan nama apapun, yang benar-benar mencerminkan jiwa keguruan agar dapat disemai bibit-bibit Guru Bangsa di masa depan.
Yang juga mungkin perlu dirintis dari awal adalah pembentukan komunitas-komunitas pembelajar, kelompok-kelompok belajar berdasarkan minat dalam masyarakat, SD Terbuka, SLTP Terbuka, SMU Terbuka, Universitas Terbuka, sekolah khusus bagi anak-anak nelayan di sepanjang pantai-pantai negeri ini. Dan sejalan dengan itu pandangan bahwa dunia persekolahan adalah satu-satunya jalan untuk meningkatkan taraf hidup harus mulai direvisi dengan menyediakan berbagai alternatif pembelajaran diluar gedung (school without wall), agar dapat dikikis pemujaaan terhadap gelar akademis dan perlakuan sekolah sebagai "agama" dan "candu" modern yang harus dianut setiap orang.
Tegasnya, kita perlu membangun masyarakat pembelajar, yang terutama belajar membagi tugas dan tanggung jawab untuk mendampingi kamu muda mengejar jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsanya, jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaan Tuhan. Kita perlu membangun masyarakat pembelajar, yang tidak lagi dan tidak akan pernah lagi, membuang tunas-tunas bangsa ke lembaga-lembaga pengajaran versi Orde Baru, tetapi yang di dalam maupun diluar institusi formal, sama-sama belajar di Sekolah Besar Kehidupan. Disanalah 'Ketuhanan Yang Maha Esa' dihayati dan langsung diamalkan diam-diam. Disanalah 'Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab' diimplementasikan dan dipraktikkan tanpa slogan-slogan. Disanalah benang-benang 'Persatuan Indonesia' kita jahit kembali dengan hati-hati dan dari hati ke hati. Disanalah 'Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat dan Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan' kita jalankan setulus hati dengan belajar untuk saling mengerti, saling menyepakati, mengakui kesalahan, dan mengampuni tanpa dendam. Disanalah 'Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia' kita demonstrasikan dengan sikap peduli, rendah hati, dan cinta dalam hidup sehari-hari.
Apakah itu akan mudah? Pasti tidak. Paling sedikit diperlukan satu generasi, 15-25 tahun. Tapi mungkin disitulah tantangannya, dan disitu pulalah harapannya. Dan sepanjang kita mau belajar, baik sebagai pribadi (individual learning), sebagai kelompok (team learning), maupun sebagai organisasi (organizational learning), dan sebagai sebuah masyarakat bangsa (national learning), maka pembelajaran memungkinkan tidak saja reformasi, tetapi juga transformasi dari bangsa yang memalukan menjadi bangsa yang membanggakan. Bukankah ulat dan kepompong yang "jelek" dimungkinkan berubah menjai kupu-kupu yang cantik? Dan bukankah pasir yang melukai kerang dapat diubah menjadi mutiara yang indah? Semua itu mungkin (possible), meski jangan harapkan akan mudah, apalagi seketika.

Bukankah demikian?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar